Lubukbasung, KABA12.com — Persolan tanah ulayat warga Nagari Kotomalintang, Kecamatan Tanjungraya, Kabupaten Agam yang masuk ke dalam area kawasan hutan lindung Maninjau mendapat sorotan dari pakar hukum pidana dari kantor hukum Anwar & Ayatullah Law Firm, yang berdomisili di Great South Building, 2nd Floor. Jl. Raya Lenteng Agung, No. 71, Jagakarsa – Jakarta Selatan.
Dr (c). Anwar Sadat Tanjung, S.H., M.H., C.M didampingi oleh staftnya Riri Gusda, S.H yang juga merupakan anak nagari di salingka Danau Maninjau mengatakan apabila warga Nagari Kotomalintang mengambil upaya hukum untuk menguasai kawasan hutan tersebut, maka warga nagari yg dimaksud dapat melanggar Pasal 83 Ayat (1) dan atau Pasal 12 huruf b atau huruf c Jo. Pasal 82 Ayat (1) huruf a dan/atau huruf b dan/atau huruf c dan Pasal 17 Ayat (2) huruf n Jo. Pasal 92 huruf a Undang-Undang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Akan tetapi, untuk mencegah terjadinya sengketa dikemudian hari, Kerapatan Adat Nagari (KAN) juga perlu membuat buku tanah nagari yang merupakan bukti administrasi kepemilikan tanah untuk memberikan kepastian hukum atas tanah ulayat. Dimana tanah ulayat nagari pemiliknya adalah seluruh anak nagari dan kedudukannya secara hukum didelegasikan kepada pemerintah nagari serta lembaga adat yaitu Kerapatan Adat Nagari.
“Maka, disinilah fungsi dari Kerapatan Adat Nagari yang seharusnya berkoordinasi dengan pemerintah setempat, dengan adanya kawasan hutan lindung tersebut yang diduga telah didiami oleh warga setempat sejak turun temurun,” ujarnya.
Lebih lanjut Anwar menjelaskan, sesuai UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan atau sering disebut dengan UU P3H merupakan undang-undang pidana khusus, yang dimaksudkan untuk memberantas kejahatan hutan terorganisir dan kejahatan hutan yang dilakukan oleh korporasi. Undang-undang ini tidak dimaksudkan untuk mengkriminalkan petani kecil yang tinggal dan bermukim di dalam atau di sekitar hutan untuk berkebun.
“Akhir-akhir ini perusakan hutan semakin meluas dan kompleks. Perusakan itu terjadi tidak hanya di hutan produksi, tetapi juga telah merambah ke hutan lindung ataupun hutan konservasi. Perusakan hutan telah berkembang menjadi suatu tindak pidana kejahatan yang berdampak luar biasa dan terorganisasi serta melibatkan banyak pihak, baik nasional maupun internasional. Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, penanganan perusakan hutan dilakukan secara luar biasa.”
Dikatakan, dalam penjelasan umum jelas dan nyata, bahwa tindak pidana kehutanan yang dimaksudkan dalam undang-undang ini dilakukan oleh sindikasi kehutanan, dimana undang-undang sebelumnya dinilai masih belum mampu mengatasi kejahatan kehutanan yang berlangsung luar biasa dan sistemik.
Dengan demikian, undang-undang ini akan menemukan dan mempidana pelaku-pelaku kejahatan yang terorganisasi (organized crime). Jadi subjek hukum undang-undang ini adalah pembalak liar yang memiiki koneksi dengan sindikat kejahatan, pelaku kejahatan yang terorganisir, yang bahkan lintas negara, dan bukan ditujukan kepada pelaku-pelaku yang tidak terorganisir, tidak terlibat dalam sindikasi. Tindak pidana kehutanan dalam skala yang lebih kecil dapat merujuk pada undang-undang kehutanan (UU No. 41/1999).
Bukti otentik lainnya terkait dengan argumentasi ini dapat dilihat dari konsideran UU P3H : bahwa hanya subjek hukum yang terorganisasi saja yang menggunakan undang-undang ini, sehingga sejak awal penyidik harus bisa memastikan bahwa ketika akan menggunakan undang-undang ini, telah ada bukti permulaan yang cukup tentang pelaku kejahatan yang terorganisasi ini yang diduga melakukan tindak pidana perusakan hutan. Jika bukan subjek hukum yang terorganisasi maka sebaiknya gunakan undang-undang kehutanan.
Terkait dengan subjek hukum yang terorganisasi ini dapat diliat dari pasal 1 angka 21 yang berbunyi : setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia dan/atau berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia.
Undang-Undang P3H, juga memberikan tafsir yang otentik terhadap kata-kata terorganisasi yaitu sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 6 yang bunyi lengkapnya, terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.
“Dengan demikian jelas bahwa tindak pidana kehutanan yang tidak terorganisir tidak bisa menggunakan undang-undang ini, termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar hutan/perladangan tradisional yang mengambil manfaat hutan untuk keperluan hidup. Para petani tradisional yang tinggal di sekitar hutan atau bahkan di dalam hutan yang memanfaatkan hutan untuk hidup memiliki kekebalan (imunitas) atas undang-undang ini, dan tidak dapat dijadikan subjek delik,” jelasnya.
Disisi lain, Kepala BKSDA Sumbar Erly Sukrismanto saat dihubungi KABA12.com, Selasa (18/09) menyebutkan untuk penetapan kawasan hutan, sebelumnya harus melewati pemetaan (tata batas) kawasan, partisipasi masyarakat, dan terakhir penetapan oleh pemerintah.
“Prosedur tata batas itu melibatkan para pihak. Panitia Tata Batas adalah Bupati dan anggota nya antara lain Camat.
Pada waktu di lapangan pastinya ada masyarakat yang tahu dan diajak bersama, terutama yang lahannya berbatasan. Jadi, kalau sudah ditetapkan tata batasnya, mestinya sudah final,” kata Erly Sukrismanto.
Kepala BKSDA Sumbar menambahkan, jika warga Nagari Kotomalintang ingin memperjuangkan tanah ulayatnya, bisa langsung diurus di Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Medan dengan mengusulkan bukti-bukti dokumen yang ada.
“Kami sudah sampaikan bahwa urusan garis batas kawasan kewenangan ada di Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wil I Medan. Jadi, silahkan diusulkan ke sana dengan bukti-bukti tertulis yang cukup kuat. Yang penting, sebelum ada penetapan baru tentang batas kawasan, maka yang berlaku batas sekarang, dan siapapun yang melakukan pelanggaran-pelanggaran tentu akan ditindak sesuai aturan,” tegasnya.
Sebelumnya, sejumlah warga Nagari Kotomalintang, Kecamatan Tanjungraya menemui Ketua DPRD Agam di gedung wakil rakyat di Lubukbasung, Senin, (17/09) sore, mengadukan persoalan tidak adanya pemberitahuan dan sosialisasi dari pemerintah terkait tanah ulayat milik mereka masuk dalam kawasan hutan lindung Maninjau.
(Jaswit)

Warning: Attempt to read property "term_id" on bool in /home/k7946951/public_html/wp-content/themes/flex-mag/functions.php on line 999