Cerpen

Tak Berbanding

Oleh : SHO

Teman. Apa itu? Aku tidak kenal.

Sejenis makanan? Sejenis manusia? He, manusia saja tidak mengenalku, apalagi aku mengenal mereka. Mana ada orang yang mau kenalan dengan manusia berantakan, apalagi cewek, yang ada malah orang makin illfeel. Cewekkan seharusnya rapi, kesekolah nggak urak-urakan, baju selalu putih bersih dari noda, rambut dishampo dan disisir tiap hari biar wangi, pakai parfum yang bikin leher tercekik, pakai aksesoris yang lucu supaya kelihatan ‘kawaii’ dan berteman dengan orang-orang sejenis supaya tetap awet.

Sedangkan aku, baju dicuci sih tiap hari, tapi cat warna-warni yang menempel tidak pernah bisa hilang meskipun pemutih segala macam merk kutuang, yang ada malah warna putihnya yang hampir menyerupai kuning gigi. Rambut memang selalu kusisir setiap hari, tapi karena berhubung aku mendapatkan gen rambut jarumnya ayah dan gen rambut keriting mienya bunda, hasil rambut anaknya jadi seperti per yang satu ujungnya diluruskan, kebayang kan serapi-rapi apapun disisir tetap tidak akan membawa perubahan. Terakhir penampilan dan segala tetek bengek aksesoris, lima kata untuk kalian. Aku-benci-sesuatu-yang-imut, dimataku semuanya selalu berwarna ‘merah’.

Jadi, mana ada anak perempuan yang mau berteman dengan tampang preman dekil kayak gini? (ok, aku nggak mendeklarasikan diri sebagai seorang preman, tapi aku mengambil kesimpulan dari cara orang melihatku. Gaya kayak preman, dekil, nggak pernah bersih. Hahaha, miris sekali hidupku)

Ya ya ya, cukup mengumbar aib umum tentangku. Siapa juga yang butuh orang sepertiku? Hm…..

TIDAK ADA.

Ok, saat ini aku sedang bersembunyi dari anak-anak cowok yang ingin menjahiliku dengan memberiku rokok. Siapa yang mau coba!

Alih-alih bersembunyi, aku juga menggambar seperti kebiasaanku sebelumnya. Ya, inilah penyebab utama dari seragamku yang ‘luar biasa’,

Apa ya? Objeknya senior-senior yang sedang latihan basket itu? Tidak akan kelihatan sih sama bocah-bocah tengik itu karna aku ada dibangku penonton paling pojok paling atas yang paling nggak kelihatan dari bawah dan pintu masuk. Aku ngomong apa, sih?

Lagi pula siapa yang mau mencariku?

Hahaha.

Eh, tumben kak Tyan latihan dengan semangat 45? Wah, objek bagus tuh dengan ‘api-api’.

”Hm.. hm..”

Sret..

Ya, sebenarnya tidak mau kubilang, tapi kebiasaan inilah yang membuatku dikatakan aneh oleh anak-anak perempuan dikelas. Padahal aku menggapainya dengan berdarah-darah dimana jari-jariku hampir putus. Tapi, ya sudahlah. Apa peduli mereka? Mereka hanya tidak tahu dan tidak mau tahu.

Sret.. sret.. apa perlu kutambah dia berdarah-darah ya?

“Hm……………….”

“…………………………”

“Wah, ternyata kau menggambar disini ya, akane.” Sesosok wajah yang tersenyum lebar tiba-tiba melayang dihadapanku dan itu benar-benar sukses membuatku terjungkal dari bangku penonton.

“Si, siapa kau?!”dengan was-was kudongakkan kepalaku perlahan dan malah mendapati seorang cewek berambut pendek model rambut cowok, mengenakan seragam dan celana training, syal dan anting-anting, yang lebih seramnya lagi dia tersenyum dengan lebar sambil menunjuk buku sketsaku.

Cewek rambut pendek ini tiba-tiba memutar badannya dan, “Oi, Tyan! Ada yang lagi ngegambar elu pose keren! Jijik gua ngeliatnya!”.

Eh?! Apa??!!

“Yang bener, Jun?! mana?”.

Aku menatap cewek itu garang, karna aku berfirasat teriakannya tadi benar-benar membawa kak Tyan itu kemari.

Duh, apa yang harus kulakukan? Hidupku yang aman damai sentosa tanpa mengenal senior ini bakalan runtuh. Argh!

“Hehe, sorry ya Akane” cewek itu malah memeletkan lidahnya sambil mengerlingkan sebelah matanya.

Dih, apa-apaan tuh? Ngomong-ngomong kenapa dia bisa tahu namaku?

“Mana gambarnya? Sini,” kak Tyan akhirnya tiba dan merebut buku sketsaku, melihatnya dan tersenyum bangga. “Ah, aku tidak tahu diriku bisa sekeren ini bila digambar dengan api-api semangat yang berkobar.”

Kepalaku mendadak panas akibat rasa malu yang mencapai level maksimum. Ketahuan sama objek yang digambar? Oh my god! Dimana mau kutaruh mukaku.

Argh, sial sekali aku.

“Ya kan? Dia memang jago bikin ginian lho, Yan. Seharusnya lu bilang terima kasih udah dijadiin objek.”

Cih, apa yang dia bilang?

Dengan seluruh keberanian yang kupunya, kutarik buku itu dan berlari sekencang mungkin menjauhi gelanggang olahraga sambil menahan rasa kesal dan maluku. Sial, sial, sial.

“Lah, kok dia kabur?”

“Ahaha, maafin dia ya? Orangnya suka labil, jdi gitu deh.”

“Sayang banget kan kalo orang lain nggak tahu, dia berbakat banget sih.”

“Tapi sayangnya tidak berlaku bagi kaum kami, Yan.”

Cih, mau kutaruh dimana mukaku ini?! Masa ketahuan sama objek sendiri? Akh, dan lagi siapa cewek itu? Dia manggil kak Tyan tanpa embel-embel ‘kak’nya, apa dia juga senior? Eh, tapi dia tahu namaku. Aku tidak mungkin sejelek itu sampai-sampai senior  tahu namaku kan?

Akh! Bodo ah, cabut kalo gitu.

Dasar bodoh.

Bersambung !!! ( Jumat, 21 Juli 2017 )

To Top