Bukittinggi, KABA12.com — Januari 2018, tepatnya tanggal 14, Radio Republik Indonesia (RRI) genap berusia 72 tahun. Selain itu, di tanggal yang sama pada tahun 2013 lalu, RRI pun ditetapkan sebagai radio bela negara.
Peringatan hari jadi ke 72 ini, ditandai dengan upacara bendera serta dialog dengan tema, sejarah berdirinya RRI Bukittinggi, Senin (15/01). Salah seorang narasumber, Alis Marajo, mantan Bupati 50 Kota yang juga seorang pemrakarsa lahirnya RRI Bukittinggi.
Kepala Stasiun RRI Bukittinggi Edyi Ivan mengatakan, khusus LPP RRI Bukittinggi peringatan hari jadinya jatuh setiap tanggal 14 Januari, dan karena pada tanggal itu bertepatan dengan hari libur, maka kegiatan diundur pada Senin kemarin.
“Momen itu sangat bersejarah dan sarat akan makna, karena 72 tahun silam tepatnya 14 Januari 1946 adalah awal berkumandangnya siaran Radio Republik Indonesia Bukittinggi dan peran RRI Bukittinggi sangat vital, karena ikut menginformasikan kemerdekaan Republik Indonesia,” jelasnya.
Berdasarkan catatan sejarah, dari Kabupaten 50 Kota, RRI Bukittinggi kemudian berkantor di Parik Natuang Kecamatan Mandiangin Koto Selayan, kemudian pindah ke daerah Tarok atau sekarang tepatnya di samping SMP Negeri 2 Bukittinggi, kecamatan Guguak Panjang.
“Barulah pada 14 Januari tahun 1947, RRI Bukittinggi pindah ke bangunan kantor di jalan DR. A.Rivai Nomor 22 A dan mengudara secara resmi, yang dahulunya merupakan sebuah hotel milik Pemerintah Hindia Belanda yang bernama Wilhelmina,” ujarnya.
Edyi Ivan menambahkan, perjuangan panjang berdirinya RRI Bukittinggi ini tidak terlepas dari seluruh pelaku sejarah atas segala bentuk perjuangan mereka di masa lalu. Terutama saat mengumandangkan Kemerdekaan Republik Indonesia bersama RRI Surakarta dan RRI Jakarta, sehingga seluruh dunia mengetahui bahwa di kala itu Negara Indonesia ini masih ada dan diakui keberadaannya.
Pemrakarsa lahirnya RRI Bukittinggi yang juga Mantan Bupati 50 Kota Alis Marajo menjelaskan, masyarakat terutama di Kabupaten 50 Kota, saat Radio PDRI tanggal 17 Januari 1949 berhasil menghubungi radio PTT India, terbukanya hubungan ini segera dilaporkan YBJ6 kepada PDRI dan Gubernur Militer Sumatera Barat.
“Suara kemerdekaan dan kenyataan Indonesia masih ada, sampai ke seluruh penjuru dunia melalui telegram pada Konferensi Negara Asia di India melalui pemancar “ZAY” meneruskan pada pemancar “ZZ” di Nagari Koto Tinggi, dan dari “ZZ” siaran diteruskan ke YBJ6 ditelegramkan ke India,” ungkapnya.
Indonesia berada pada masa-masa sulit dan menegangkan, Ibukota Republik Indonesia jatuh, pemimpin Republik Indonesia, Presiden, Wakil Presiden dan sejumlah menterinya menyerah dan ditahan belanda.
“RRI berperan mengumumkan Indonesia masih eksis ke dunia internasional, dengan menjalin komunikasi dengan para pemimpin di seluruh wilayah, termasuk melakukan perang gerilya, RRI Bukittinggi berperan penting selama perjuangan PDRI, sehingga kemerdekaan Indonesia dapat diselamatkan,” ulasnya.
Peran RRI Bukittinggi, 19 Desember 1948, dari Yogyakarta ke Bukittinggi (Ibukota Pemerintah Darurat RI), pada saat itu Bung Karno – Bung Hatta dibuang ke Brastagi.
“Hubungan Bukittinggi –Yogyakarta berjalan dengan pengorbanan dan keberanian pejuang melalui darat-laut-udara. RRI Bukittinggi berperan yang semula bernama Komando Penerangan Sumatera selanjutnya bernama RRI Sumatera,” tambahya.
Pada 1 September 1948 sambung Alis Marajo, pemerintah darurat RI dialihkan ke Sumatera berpusat di Bukittinggi, ketika Yogyakarta diduduki Belanda.
RRI menjadi incaran untuk di bom oleh Belanda dan Bukittinggi akan dibumi hanguskan.
Bertitik tolak dari sejarah itu, sepatutnya RRI Bukittinggi atau dahulunya Radio PDRI diberikan penghargaan sebagai Radio yang turut berjuang menjaga keutuhan NKRI.
Radio yang mengumandangkan kepada dunia bahwa NKRI masih tetap berdiri teguh meski para pemimpinnya ditahan.
(Ophik)
