Oleh : Rahman Buya
Iman secara etimologi adalah hal yang membenarkan, dan kejujuran adalah salah satu cabangnya yang sekaligus merupakan akhlak utama yang dapat mencegah diri dari melakukan yang tidak baik dan tidak bagus, serta segala hal segala hal yang menyeru kepada perbuatan jelek tersebut.
Kejujuran mungkin bagi sebagian orang dianggap sesuatu yang langka dan mahal, sebutlah anak berbohong pada orang tuanya, bawahan kepada atasan, pedagang pada konsumennya, pemimpin kepada rakyatnya, korupsi dan tipu muslihat yang merajalela hampir menyetuh seluruh sisi kehidupan, dan banyak lagi masalah ketidakjujuran dengan modus dan trend yang beragam. Sangat banyak ayat Kitab Suci (Al-Qur’an), sunnah, akal yang terbimbing dan fitrah bagaikan energi yang menghidupkan kejujuran.
Dalam pespektif itu, seorang muslim yang baik haruslah orang yang jujur dan mencintai kejujuran, serta memegangnya secara lahir maupun batin dalam semua aspek, baik dalam perkataan dan perbuatannnya, sebab kejujuran itu membawanya kepada nilai kebaikan untuk menggapai kemuliaan dan menempatkan dirinya pada derajat yang tinggi, terutama dihadapan Allah SWT Sang Khaliq Yang Maha Mulia, maupun disisi manusia sebagai sesama makhluk.
Firman Allah SWT “Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman bahwa mereka mempuyai kedudukan yang tinggi (“qadama shidqin”) disisi Rabb mereka.” (QS. Yunus (10): Ayat 2). Tafsir ayat ini menjelaskan; Maksudnya yaitu keimanan yang benar (jujur), bahwasanya mereka kelak akan mendapatkan “qadama shidqin”, yakni balasan yang tak terhingga, pahala yang amat banyak disisi Rabb mereka dengan sebab apa yang dahulu mereka lakukan berupa amal shaleh dan kebenaran (jujur) (Tafsir Ibnu Sa’di hal 66. Selanjutnya Ibnu ‘Abbas berkata : “qadama shidqin” maknanya adalah rumah kejujuran (di surga).
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi menjelaskan dalam tafsirnya hal. 111, maknanya (Surat Yunus (10): 2) “Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman tentang apa yang kami wahyukan kepadamu. Bahwa mereka akan mendapatkan amal shaleh kembali yang menyebabkan mereka memperoleh pahala dari Allah Ta’ala dan kedudukan yang tinggi (qadama Shidqin) yang diperoleh berkat perkataan yang jujur dan tabi’at mereka yang baik”.
Pada ayat lain Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya :”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” (QS At-Taubah (9): 119). Dalam kitab Tafsir Ibnu Sa’di, disampaikan bahwa maksud ayat ini “ Jadilah kalian semua bersama orang-orang yang jujur dalam ucapan mereka, dalam perbuatan dan segala keadaan mereka. Mereka adalah orang-orang yang ucapannya jujur, perbuantannya dan keadaannya tiada lain kecuali kejujuran semata, bebas dari kemalasan, kebosanan, selamat dari tujuan-tujuan yang buruk, dan selalu memuat keikhlasan dan niat yang baik”.
Rasulullah SAW juga menekankan dalam suatu hadist yang berbunyi: “Dari Abdullah Ibnu Mas’ud, dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Selayaknya bagi kamu untuk berlaku jujur, karena kejujuran itu mengantarkan kepada kebaikan, sedangkan kebaikan mengantarkan ke syurga. Sesungguhnya sesorang jika berlaku jujur akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hindarilah berlaku dusta, karena dusta mengantarkan kepada kejahatan, sedangkan kejahatan mengantarkan ke neraka. Sesungguhnya seseorang jika berlaku dustaakan ditulis disisi Allah sebagai pendusta”. (HR. Bukhari)
Sesuatu yang indah dan mulia, ketika kita mampu menghiasi seluruh sisi hidup dengan untaian kejujuran, karena dia adalah pelengkap keimanan dan penyempurna keislaman. Hanya dengan menghiasi diri dengan rangkaian ‘kembang kejujuran’ terbuka jalan untuk selalu menjaga kesempurnaan iman. Setiap diri yang jiwanya berbalut nilai-nilai kejujuran akan menuai ketenangan batin, ketentraman jiwa dan kemudahan segala urusan.
Orang jujur senantiasa percaya dan bertawakal kepada Allah SWT. Iabertawakal kepada-Nya ketika mengetahui bahwa Allah lah yang mencukupinya dari seluruh makhluk, maka ia tidak merasa kehilangan sesuatu yang dicegah oleh Allah, karena Allah-lah yang mencukupinya dan Dia-lah yang memegang urusannya. Allah SWT berfirman, “Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesunguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki hambanya)-Nya” (Qs. Ath-Thalaaq (65) : 3)
Orang yang bertawakal terkadang dicukupi dan terkadang tidak, tetapi nilai tawakalnya tidak berkurang sedikitpun. Namun hal itu tidak berarti bahwa manusia tidak perlu bekerja dan berusaha mencari rezeki, sebab sejarah mencatat bahwa hampir setiap nabi dan rasul selalu bekerja dan berusaha layaknya masyarakat disekitarnya di zaman itu.
(Dari berbagai sumber).
