Kaba Terkini

“ Kaco Naiak “

Catatan : Harmen

 “ Apak tu lah palupo kini”. Itu pameo yang selalu penulis dengar, jika duduk di lepau. Kopi-kopi sangah bersama beberapa kawan dan masyarakat lain. Pameo “ kaco naiak” jadi sindiran tajam yang terkadang, penulis pun malu jika yang disindir adalah beberapa “orang” yang dikenal bahkan kenal dekat.

“ Kaco naiak “, pameo saat ada mobil dinas pejabat daerah ini yang baru lewat, dengan kaca tertutup, atau malah tidak bersuara saat melewai kedai, tempat kami ngopi-ngopi sangah itu.

Bukan dalam artian, para warga yang duduk di warung atau lepau buruk sekalipun ingin disanjung dan dihargai saat ada yang lewat. Mungkin, karena kebiasaan masyarakat yang memelihara etika bersopan-santun, dengan bertegur sapa, atau banyak saling berteriak jika ada kenalan atau kawan yang dikenal, kebetulan lewat.

Itu kebiasaan bahkan tradisi  santun yang hingga kini masih menjadi kekuatan bahkan tolak ulur bagi mayoritas masyarakat dalam mengawali “cerita lapau” sambil menikmati kopi sore yang temaram.

Itu juga kebiasaan masyarakat kita yang suka bercerita, menceritakan beragam hal, termasuk hal-hal sensitive yang beberapa hari belakangan menjadi topic hangat di lepau-lepau. Dinamika carito lapau ini, justru menjadi animasi tersendiri dalam penggambaran betapa sangat peduli dan tingginya perhatian masyarakat terhadap beragam hal, termasuk jika ada petinggi atawa bahkan pejabat yang baru lewat di depan mata. Semua dikaji, semua diperbincangkan (dalam artian positif saja).

Tapi fenomena “kaco naiak” justru berujung pada komentar “apak tu lah palupo kini” .

Kenapa begitu. Tapi itulah cerita lapau, semua dianggap menjadi sebuah ukuran. Kaca mobil yang tertutup rapat (kaco naiak tadi-red), dianggap sebagai sebuah hal yang tabu bahkan menjadi cemooh untuk mengukur perubahan. Padahal sebetulnya, jika ditelisik, kaca mobil yang tertutup rapat, dampak AC mobil hidup karena cuaca panas yang minta ampun.

Kalaupun diberi penjelasan seperti itu, para pencerita di lapau pun akan berkomentar lain. Bahkan, perilaku itu dibandingkan dengan masa lalu yang dianggap berbeda. “ Dulu ndak bantuak tu liau doh, kaco tabuka taruih, panyapo, kadang antah sia nan disaponyo, ndak jaleh doh” . Itu komentar yang muncul yang terkadang diakhir dengan tawa mengekeh.

Entah mencemooh, entah memang itulah femomena alami tentang perubahan sikap yang terkadang kitapun tak tahu apa sebetulnya yang menjadi penyebab pasti, karena diberi argumen pun, ada pula argumen pembanding yang bermuara pada tawa mencimooh.

Terkadang sulit memang, dan entah femomena ini siapa yang akan dipersalahkan. Karena semua aspek, apalagi sikap “panyapo” yang sangat lekat dengan masyarakat pun , justru kerap menjadi “komoditi perilaku” sesuai menarik simpati.

Biasanya, perilaku santun, kaca mobil terbuka, menyapa setiap yang terlihat , kadag sok akrab, adalah bagian dari strategi perilaku yang terkadang dibuat-buat untuk menarik simpati. Biasanya itu sangat lumrah terjadi saat musim pemilu, pemilu legislative, pilkada atau ada kebutuhan lain akan dukungan masyarakat. Semua serba sok akrab, sok perhatian bahkan sok peduli yang terkadang juga tak masuk akal.

Tapi, mayoritas sudah bisa melihat, mengukur dan menilai. Sesungguhnya, masyarakat kita, hanya menjadi bahan kepentingan, yang dimanfaatkan jika ada keinginan. Setelah keinginan tercapai, semua dilupakan. Kaca mobil baik, kerap pura-pura sibuk tak tak melihat, atau aksi-aksi lain yang intinya enggan untuk bertegur sapa, karena memang tiada guna juga.

Itu lumrah, bahkan (mungkin) fitrah manusia. Manusia bersifat khliaf, pelupa, dan segala sifat yang terkadang bisa pupus hanya dengan senyuman dan permintaan maaf. Tapi, semua ada ukuran, masyarakat sudah cerdas, dan pilunya, akan berimbas pada kegiatan demokrasi karena masyarakat justru makin hilang kepercayaan. Tapi, itulah manusia .

(Harmen)

0Shares
To Top