Kaba Terkini

Valentine’s Day, Migrasi Aqidah dan Surau Tuo

Oleh : Rahman Buya

Bersamaanbuya rahman dengan masuknya beragam gaya hidup dunia barat dalam budaya umat Muslim, beragam tradisi ‘aneh’pun ikut mendapat tempat dan berasimilasi dengan keseharian pola hidup umat muslim. Makin hari kondisi ‘daya tahan’ umat muslim makin rapuh, tiang-tiang penyangga aqidah dan seluruh bagiannya mulai goyah.

Jika sejenak kita kembali dalam suasana kala dulu, tak ubahnya bagaikan ‘Surau kaum dan nagari’ yang mulai lapuk dimakan rayap, karena ditinggalkan para penghuninya, yang biasanya setia menunggui, seiring zaman yang terus ‘berkembang’, para penjaga dan penghuni surau mulai bermigrasi dan ‘eksodus’ menjauh dari surau tua yang tak terurus. Tuo-tuo kampuang, para cadiak pandai, imam khatib, pimpinan kaum, para tokoh-tokoh adat, mulai mati langkah ‘Skak Mat’! Mereka gagap seketika! Menyaksikan anak kemenakannya mulai berlarian menuju pusaran budaya hedonisme (menjadikan kelezatan sebagai standar kebaikan), larut dalam pusingan zaman yang penuh dengan trik dan gerak yang ‘mematikan asa’.

Hari ini, tanggal 14 Februari, konon tanggal ini dikatakan sebagai peringatan dan upacara ritual agama Romawi kuno, yang saat ini lebih populer dengan sebutan ‘Valentine, dan suatu momen yang sangat dinanti-dinantikan oleh sebagian para remaja (pemuda-pemudi) untuk ‘mengekspresikan’ hasrat kasih sayang mereka, dan sudah tentu tidak sesuai dengan konsep pergaulan dalam Islam itu sendiri, karena tidak satupun ada dalil atau dasar hukumnya. Valentine Day yang diartikan hari berkasih sayang dirayakan oleh ‘kaum muda’ tanpa terkecuali, baik dikalangan non-muslim maupun muslim yang terbawa-bawa ikut memeriahkannya.

Tradisi perayaan ini sudah merebak kemana-mana mulai dari pelosok-pelosok kampung hingga tempat-tempat hiburan dan diberbagai tempat lainnya. Bahkan masuk ‘kerumah-rumah orang Islam dengan leluasa, sehingga digeser maknanya dari upacara keagamaan (Romawi kuno), menjadi hari persaudaraan, kasih sayang, tukar menukar hadiah dan sebagainya. Seolah dikemas sebagai sesuatu yang baik dan lazim.

Khusus bagi kalangan kaum muda Islam, ironisnya mereka tak mau tahu apakah Valentine Day itu sesuai atau tidak dengan ajaran Islam? Dalam berbagai referensi dikatakan adalah Paus Gelasius I pada tahun 496 M yang memasukkan upacara ritual Romawi kuno kedalam tradisi agamanya (Nasrani), sehingga sejak itu secara resmi Gelasius I menjadikannya sebagai hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan meninggal pada 14 Februari.

Dan bagi kita, persoalan ibadah ritual dan tradisi masing-masing umat beragama dengan sistem nilai dan keyakinan yang dianutnya adalah sesuatu yang biasa dalam bingkai kebinekaan.

Namum dalam perspektif Islam atau agama-agama hanif (mulai dari Nabi Adam sampai dengan Muhammad SAW), bahwa sesuatu pesan baru dianggap sebagai bagian dari ajaran agama ketika pesan ajaran itu disampaikan oleh para Rasul sebagaimana telah diwahyukan oleh Allah Ta’ala.

Tetapi dalam tata nilai dan aqidah serta keyakinan yang dianut umat muslim, masalah ini bukan semata-mata persoalan budaya, tetapi sudah menyentuh ranah aqidah, dimana umat Islam dilarang keras ikut merayakan atau memperingati ritual agama atau hari besar agama lain. Perbuatan ini merupakan bentuk kemusyrikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Dijelaskan bahwa icon si “Cupid” itu adalah putra Nimrod “the hunter” dewa matahari. Disebut ‘tuhan cinta’, karena ia rupawan sehingga di buru wanita.

Islam terang dan jelas mengharamkan segala hal yang berbau syirik, seperti kepercayaan adanya Dewa dan Dewi. Dewa cinta yang sering disebut-sebut dengan dewa Amor, adalah cerminan aqidah syirik yang didalam Islam hal itu harus ditinggalkan jauh-jauh. Biasanya atribut dan aksesoris hari Valentine sulit dilepaskan dari urusan cinta dewa cinta ini. Dan dalam keyakinan serta nilai-nilai aqidah Islam, semangat Valentine ini tidak lain adalah sesuatu yang dianggap menyesatkan dan bisa jatuh kepada hukum syirik.

Rasulullah SAW dalam hadisnya menegaskan, “Siapa yang menyerupai sesuatu perbuatan kaum, maka ia bagian dari kaum itu.” (HR. Bukhari Muslim). Hadis ini menuntut kita agar sangat hati-hati dalam menerima suatu konsep ajaran, karena kita akan menjadi bagian dari golongan tersebut.

Islam yang sangat kaya akan konsepsi-aplikasi, sudah menggariskan dan memberikan aturan tentang perilaku kehidupan. Lima belas abad yang lalu Rasulullah sudah mengajarkan, ”Tidak beriman seseorang, sebelum ia menyintai saudaranya sebagaimana ia mencintai diri sendiri.” (HR. Bukhari Muslim).

Perlu dipahami, bahwa Islam agama yang sangat konsisten dan tidak ikut-ikutan meniru keyakinan dan gaya hidup yang bukan bagian dari ajaran Islam, meskipun dikemas dan berkedok kebaikan dan kasih sayang, karena Islam telah mengatur tata cara untuk menanam kebaikan dan menyediakan fasilitasnya (wasilah).

Jadi ‘ajaran kasih sayang’ yang dihembuskan melalui Valentine Day, bukanlah ajaran Islam, dan tidak satupun dalil-dalil dalam Islam yang mendasarinya. Allah SWT berfirman, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah [9]: 128).

Dalam hal ini, mengungkapkan keperihatinan saja, tentu tidak cukup dan tidak akan merubah keadaan, bahwa perbaikan harus terus dilakukan, para pengambil kebijakan dari semua tingkat harus menyediakan ruang dan kesempatan untuk itu. Jangan biarkan ‘Surau tuo kaum dan nagari roboh’ diterjang kuatnya arus ‘budaya ciptaan hedonisme’. Meskipun tiang-tiangnya mulai menua, memfungsikannya kembali adalah yang baik, sebelum terlambat!

[referensi dari berbagai sumber]

To Top