Jakarta, KABA12.com — Di tengah maraknya pelanggaran dalam siaran televisi, mulai dari konten kekerasan, kata-kata kasar, pornografi, tidak ramah anak, hingga untuk kepentingan kelompok tertentu, penghentian program ternyata bukan solusi yang tepat.
Seperti dilansir CNNIndonesia.com berkesempatan mewawancarai Ketua Komisi Penyiaran Publik (KPI) Yuliandre Darwis mengenai kondisi industri televisi dan kebijakan KPI sebagai lembaga yang bertugas mengawasi siaran publik.
Selama ini, KPI memantau program televisi secara manual selama 24 jam penuh. Yuliandre menjelaskan, KPI memiliki empat shift pegawai yang berganti setiap enam jam.
Mereka melakukan pemantauan stasiun televisi yang menggunakan frekuensi publik, setidaknya ada 15 TV jaringan nasonal, empat TV berlangganan, dan lima jaringan radio.
Jika dalam konten siaran terdapat asumsi pelanggaran Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), maka akan dianalisis secara hukum. Setelah itu, siaran akan dilihat oleh komisioner KPI.
“Dilakukan sebuah penayangan dan dikaji oleh tenaga ahli dan komisioner menentukan pelanggaran dan penindakan,” kata Yuliandre .
Yuliandre mengakui bahwa proses tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang, hingga beberapa hari, bahkan sampai satu minggu hingga sanksi diberikan.
Jika dinyatakan bersalah, KPI akan memberikan peringatan pertama hingga ke-tiga. Jika masih berlanjut, KPI meningkatkan menjadi teguran pertama sampai ke-tiga.
Bila tak juga diacuhkan dan masih melanggar ketentuan, program akan diberhentikan sementara untuk jangka waktu tertentu dan bisa berujung pada pemberhentian total.
“Tetapi, bisa jadi kalau terlalu ekstrem kita langsung berhentikan sementara,” ujar Yuliandre.
Selain pemantau langsung, KPI juga menerima aduan masyarakat. Yuliandre menyatakan semua aduan dari pelapor dengan identitas yang valid akan ditindaklanjuti.
Meski banyak jumlah pelanggaran dan aduan masyarakat, Yuliandre menyatakan tak bisa semena-mena menghentikan sebuah tayangan.
Yuliandre menjelaskan masalah baru justru timbul ketika menghentikan sebuah program teve, bahkan jika hanya sementara.
Menurut Yuliandre, penghentian suatu tayangan mengakibatkan industri kehilangan biaya produksi yang didapat dari iklan. Pemasukan yang mandek itu mengganggu industri televisi. Ketua KPI itu menyebut penghentian suatu tayangan dalam satu hari saja, diestimasi bisa rugi hingga Rp2 miliar.
“Biaya industri mereka mandek. Kehilangan Rp2 miliar dalam satu hari. Mengerikan lho. Jadi dampaknya ke pemotongan gaji karyawan, kadang artis dikurangi, macam-macam sih,” kata Yuliandre.
Jika terus-terusan dihentikan, Yuliandre beranggapan justru akan memunculkan industri kreatif televisi yang tidak sehat.
“Kalau kami berangus, habisi semua, bisa enggak ada program TV. Lama-lama lapangan pekerjaan orang bisa tutup,” ujar Yuliandre.
Kendati demikian, Yuliandre mengaku KPI masih tetap bakal melayangkan teguran, peringatan, dan penghentian untuk program televisi yang kelewat batas melanggar aturan dan dianggap merugikan publik.
Penghentian itu pernah dilakukan selama tiga hari untuk program Dahsyat di RCTI dan dua hari untuk Selebrita Pagi di Trans 7 pada Maret lalu.
Selama masa penghentian sementara itu, KPI melakukan evaluasi dan pembinaan bagi para pekerja televisi yang melanggar. Jika para artis yang terbukti melanggar, mereka akan dihukum oleh pihak program televisi.
“Nah artisnya diskors dari internal mereka. Karena mereka sudah berapa kali ‘Gara-gara lokita diberhentikan KPI.’ Mereka (stasiun teve) menceritakan kepada kami sudah memberhentikan artis ini,” tutur Yuliandre.
Seperti, penyanyi dangdut Dewi Persik pernah diberhentikan dari D’Academy di Indosiar.
Solusi
Untuk mempercepat proses pemantauan itu, Yuliandre menyatakan KPI membutuhkan infrastruktur yang mumpuni dan ditunjang teknologi tinggi. Beberapa negara di dunia bahkan sudah otomatis mengunci kata-kata tertentu dengan langsung disensor ketika dikeluarkan saat siaran televisi berlangsung.
Teknologi seperti ini sudah seharusnya dimiliki Indonesia lantaran, menurut Yuliandre, pelanggaran yang paling sering dilakukan oleh televisi saat ini adalah ketika siaran langsung karena kata-kata dan tindakan dari artis kadang tak bisa diawasi.
Yuliandre juga menilai pemberian peringatan, teguran dan penghentian juga belum efektif. Menurut dia, seharusnya ada pemberian sanksi berupa denda jika terjadi pelanggaran. Peraturan itu sudah diterapkan di Turki.
Melalui sistem denda itu, setiap keuntungan yang didapat dari iklan akan dipotong sekian persen untuk negara.
“Misalnya, jumlah keuntungan dari iklan Rp5 miliar, nanti 5 persen atau 6 persen masuk ke APBN negara. Itu di Turki dan yang lain begitu semua. Nah, kita kan belum ada sanksi uang, sanksinya masih pemberhentian. Kalau sanksi uang pasti takut dong,” tutur Yuliandre.
Untuk diterapkan di Indonesia, peraturan ini masih menunggu dari Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang baru untuk segera disahkan.
“Kalau undang-undang penyiaran masih lama, perundang-undangan KPI enggak bisa lari dari koridor utamanya,” ujar Yuliandre.
(Dany)