Kaba Tausyiah

Metode Menetapkan Sifat-Sifat Allah

Dalam mengenal dan menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala, ahlus sunnah menempuh beberapa metode berikut ini.

Pertama, dengan menetapkan makna (sifat) yang terkandung dalam nama Allah Ta’ala.

Kaidah penting berkaitan dengan masalah ini adalah bahwa setiap nama Allah Ta’ala itu adalah nama sekaligus mengandung sifat Allah Ta’ala yang mulia. Misalnya, nama Allah Ta’ala “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim” menunjukkan sifat Allah Ta’ala memiliki rahmah (kasih sayang) kepada hamba-Nya. Nama Allah Ta’ala “Al-Hakiim” menunjukkan sifat al-hikmah yang dimiliki Allah Ta’ala. Nama Allah Ta’ala ‘Al-‘Aziiz” menunjukkan sifat al-‘izzah (perkasa). Demikian pula, nama Allah Ta’ala “Al-‘Aliim” menunjukkan sifat al-‘ilmu. Dan demikian seterusnya untuk nama-nama Allah Ta’ala yang lainnya.

Aqidah ahlus sunnah ini bertentangan dengan aiqdah mu’tazilah yang menetapkan dan meyakini nama Allah Ta’ala, namun nama yang kosong dari kandungan sifat. Menurut mu’tazilah, Allah Ta’ala memiliki nama Al-‘Aliim, akan tetapi Allah tidak memiliki ilmu. Allah Ta’ala memiliki nama As-Samii’, akan tetapi Allah Ta’ala tidak memiliki as-sam’u (pendengaran) dan demikian seterusnya.

Tidak diragukan lagi, bahwa aqidah mu’tazilah tersebut adalah aqidah yang batil. Nama Allah Ta’ala berbeda dengan nama makhluk. Karena nama makhluk (manusia biasa, kecuali Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), bisa jadi hanya sekedar nama tanpa menunjukkan sifat. Ada seseorang yang bernama “Shalih”, namun mungkin saja perilakunya tidak mencerminkan namanya. Atau, ada orang bernama Alim, namun dia orang yang tidak berpendidikan.

Kedua, dengan menetapkan sifat yang Allah Ta’ala sebutkan secara langsung dalam Al-Qur’an atau disebutkan oleh Rasulullahshallallahu ‘alahi wa sallam.

Dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah Ta’ala banyak menyebutkan secara langsung sifat-sifat-Nya. Misalnya, di antara sifat Allah adalah Allah Ta’ala memiliki wajah (al-wajhu). Sifat ini Allah Ta’ala sebutkan secara langsung dalam Al-Qur’an,

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman [55]: 27)

Allah Ta’ala juga berfirman,

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.” (QS. Al-Qashash [28]: 88)

Contoh lain berkaitan dengan sifat Allah Ta’ala memiliki dua tangan (yadain), Allah Ta’ala mengatakan,

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ

“Allah berfirman, “Wahai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (QS. Shaad [38]: 75)

Allah Ta’ala juga mengatakan,

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ

“Orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu.” Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah itu terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Maidah [5]: 64)

Ketiga, dengan mengambil turunan dari kata kerja yang disebutkan oleh dalil.

Metode ke tiga dalam menetapkan sifat Allah Ta’ala adalah dengan mengambil turunan kata dari kata kerja (fi’il) yang disebutkan oleh dalil, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Misalnya, di antara sifat Allah adalah mutakallim (berbicara). Sifat ini diambil dari firman Allah Ta’ala,

وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا

“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (QS. An-Nisa’ [4]: 164)

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menyebutkan fi’il “kallama” (berbicara), kemudian diambillah sifat al-mutakallim dari kata kerja tersebut.

Contoh lain, berkaitan dengan sifat al-majii’ (datang), Allah Ta’ala berfirman,

كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا ؛ وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا

“Jangan (berbuat demikian), apabila bumi digoncangkan berturut-turut. Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris.” (QS. Al-Fajr [89]: 21-22)

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menyebutkan fi’il “jaa’a” (datang), kemudian diambillah sifat al-majii’ dari kata kerja tersebut.

Contoh lain adalah sifat Allah an-nuzuul (turun ke langit dunia). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

”Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku penuhi. Dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni.”” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 1808)

Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan fi’il “yanzilu” (turun), kemudian diambillah sifat an-nuzuul dari kata kerja tersebut.

(Sumber: muslim.or.id)

To Top