Jakarta, KABA12.com — Uji materi Pasal 61 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan masih bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Penggugat menginginkan MK membatalkan isi pasal tersebut lantaran tidak membolehkan penganut kepercayaan selain enam agama resmi memasukkan keyakinannya di kolom agama di kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
Sidang uji materi berjalan 8 kali, dan penggugat telah menyampaikan penjelasan akhir mengenai gugatan tersebut. Empat penggugat yaitu Nggay Mehang Tana, Pagar Demanhara Sirait, Arnol Purba, dan Carlim, tak ingin lagi para penganut kepercayaan ‘tidak resmi’ mengosongkan kolom agama di KTP mereka.
Berdasarkan Pasal 61 tersebut, penganut kepercayaan di luar agama yang diakui pemerintah, memang hanya diizinkan mengosongkan kolom agama dalam e-KTP. Atau jika tidak mau dikosongkan, mereka harus rela mengisinya dengan agama yang dibolehkan pemerintah.
Dalam salah satu sesi sidang, Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pudjianto menyampaikan pandangan pemerintah yang sejalan dengan keinginan penggugat.
“Perlu kita pahami bahwa pilihan kata yang terkandung dalam sila Pancasila dan dialektik pembukaan konstitusi adalah ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Hal ini mengandung makna filosofis yang mendalam bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan atas Ketuhanan, bukan keagamaan. Sehingga setiap keyakinan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa diakui pemerintah,” kata Widodo, dikutip dari detikcom.
Jika MK mengabulkan uji materi, penganut kepercayaan di Indonesia dapat memasukkan keyakinan masing-masing tanpa harus ‘menumpang’ ke agama tertentu untuk dicantumkan pada e-KTP.
Membolehkan penulisan kepercayaan lokal dalam e-KTP dianggap sebagai salah satu cara menjaga kebinekaan. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menuturkan, isu kolom agama sebenarnya telah muncul sejak beberapa waktu lalu, dan selalu berkutat pada dikotomi muslim serta non-muslim.
“Ada tuntutan bagi warga negara untuk memasukkan kepercayaan ke dalam KTP sebenarnya terkait aksesbilitas terhadap pelayanan publik, yang selama ini terdikotomis untuk muslim-non muslim,” kata Wasisto kepada seperti dikutip CNNIndonesia.com, Senin (15/05).
Menurut Wasis, idealnya tidak ada lagi kolom agama dalam e-KTP. Karena agama merupakan pilihan pribadi dan tidak perlu masuk dalam ranah publik.
Sehingga Wasis menilai gugatan uji materi dari penghayat kepercayaan sebagai upaya positif. Bagi Wasis, pemerintah harus memberikan izin kepada penganut kepercayaan untuk menulis keyakinan masing-masing di kartu identitas.
“Karena mereka sebenarnya butuh akses barang publik. Negara kita adalah negara berketuhanan dan bukan negara agama,” ujarnya.
Pandangan serupa disampaikan pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati. Mada menilai pemerintah wajib memfasilitasi keberadaan kolom agama untuk kepercayaan lokal pada e-KTP.
Mada yakin selama ini banyak penganut kepercayaan yang terpaksa memilih satu dari enam agama diakui untuk ditulis dalam kartu identitas. Hal itu terjadi karena khawatir tak mendapat pelayanan publik dan diperlukan diskriminatif, jika mengosongkan kolom agama di e-KTP.
“Padahal itu bertentangan dengan keyakinan mereka dan dengan praktik kehidupan mereka sehari-hari. Pemerintah sudah saatnya mengakui keberadaan mereka,” tutur Mada.
Kekhawatirkan yang disebut Mada memang terjadi. Di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, Yuliana Leda Tara, mengaku sempat memeluk satu dari lima agama yang diakui semasa sekolah dulu.
Penganut kepercayaan lokal Marapu ini mengatakan, hal itu dia lakukan agar dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar. “Karena malu tak mau keluar, akhirnya saya mengaku agama lain (yang diakui pemerintah),” ujar Yulian beberapa waktu yang lalu.
(Virgo)