Oleh : Rahman
Orang bijak mengatakan, syahwat merupakan penggerak tingkah laku atau motif dan hawa nafsu merupakan kekuatan destruktif yang menguji kemampuan jiwa.
Dalam perspektif psikologi Islam dijelaskan bahwa perangkat kejiwaan manusia terdiri atas akal, hati, nurani, syahwat, dan hawa nafsu. Akal merupakan instrumen atau perangkat sebagai ‘problem solving capacity’ yang tupoksi (tugas pokok dan fungsi)-nya untuk berfikir, ‘hati’ merupakan media untuk memahami realita dan fakta, sedangkan ‘nurani’ merupakan pandangan ‘mata batin’ yang akan menjadi alat kontrol terhadap pandangan mata zahir.
Sebagai sebuah sistem yang dinamis, kelima ‘perangkat kejiwaan’ tadi (akal, hati, nurani, syahwat, dan hawa nafsu) saling bersinergi dan berkolaborasi membentuk kepribadian seseorang, terlebih bagi yang ‘didahulukan selangkah, dan ditinggikan serantiang’ (pemimpin).
Syahwat politik yang berlebihan adalah bentuk kecendrungan seseorang untuk menguasai dan memiliki sesuatu (bahkan diluar batas kewajaran dan kepatutan) secara sewenang-wenang.
Betapa banyak realitas yang muncul dan kita temui, berbahayanya ambisi dan ‘syahwat politik’ yang tak terkendali, jika telah menguasai jiwa seseorang (terutama bagi para pemimpin). Berbagai cara akan mereka lakukan, walaupun harus melawan nuraninya sendiri.
Hampir setiap saat kita disuguhi oleh berbagai pemandangan yang ‘menjengkelkan’ akibat perilaku tak terpuji dan tak ‘berhati nurani’ dari para pejabat publik dan elit politik di negeri ini. Korupsi ‘berjamaah’, pungli yang bersifat masif dari berbagai lembaga, mulai dari tingkat pusat, daerah, bahkan sampai pada level pemerintahan desa/nagari.
Sementara, sebagian para elit politik kita sekarang, mulai dari daerah hingga pusat, mereka larut dalam ambisi jabatan, dan tenggelam dalam megalomania politik serta terjerat oleh nafsu kekuasaan.
Sebagaimana diungkapkan, bahwa kekuasaan jika dipandang dari sudut kacamata ‘hasrat atau syahwat politik’, akan menjadi candu yang membuat orang lupa diri, dan kesadaran dirinya sudah terbius oleh candu kekuasaan itu. Dan biasanya mereka tidak dapat lagi membedakan secara jernih antara baik buruk, ‘kawan lawan’, kebenaran dan kesalahan, jalan lurus ataupun bengkok. Semuanya bukan lagi berjalan diatas dasar nilai etis, melainkan ‘gairah hedonis’.
Para elit nampaknya telah terkendali oleh ‘hasrat hedonisme’, materialisme, dan konsumerismenya. Kekuasaan ‘hawa nafsu’ telah mengatur mereka.
Para politisi yang berpikir dangkal, dan hedonis, mereka lebih senang menenggelamkan diri dalam ambisi pribadi, dan syahwat prakmatisme, dimana mereka telah mereduksi nilai-nilai dan harapan masyarakat menjadi ambisi, hasrat dan syahwat politik jangka pendek.
Semoga harapan masyarakat untuk hidup sejahteran dan berkeadilan, masih terbuka luas.