Kaba Terkini

113 Tahun Perang Kamang-Manggopoh Wujud Perlawanan Rakyat Sumatera Barat Sebuah Nukilan Sejarah (*)

Perang Kamang dan Perang Manggopoh, yang Selasa,(15/6) ini tepat berusia 113 tahun, diperingatan secara khidmat oleh masyarakat kabupaten Agam. Perlawanan para tokoh adat, ninik mamak dan bundo kanduang itu, menjadi bukti perlawanan masyarakat Sumatera Barat terhadap penjajah Belanda, yang semakin semena-mena menindas rakyat.

Antiklimaks kemurkaan rakyat Sumatera Barat yang semakin menderita didera kekejaman penjajah itu, betul-betul membut geger pemerintah Belanda, yang tak menyangka, rakyat Sumbar, khususnya di Kamang dan Manggopoh bergerak serentak, melakukan perlawanan, bahkan membuat kocar-kocar tentara penjajah yang dikenal garang menindas rakyat.

Nukilan sejarah Perang Kamang yang serangkai dengan sejarah Perang Manggopoh itu, sengaja dibacakan Drs.Abdi Murtani Dt.Maruhun Basa, ketua LKAAM Kamang Magek, dalam prosesi puncak peringatan Perang Kamang di aula kantor camat Kamang Magek yang dihadiri Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansyarullah.

Disebutkan, “tanah emas”, istilah kolonial Belanda dalam menyebut bumi Sumatera Barat yang dikenal kaya akan hasil bumi, yang sejak menjajah Indonesia, menjadi incaran Belanda untuk dikuras habis dan dibawa ke negeri Belanda, sementara rakyat ditindas dengan kejam, sehingga penderitaan tak terperi menjadi bagian dari hari-hari penuh kepahitan yang justru membangun semangat perlawanan.

Dalam sejarahnya, seperti nukilan yang dibacakan AM.Dt.Maruhun Basa, setelah berhasil menguasai Sumatera Barat tahun 1807, Gubernur Michael melaksanakan sistem tanam paksa kopi, agar pedagang kopi bisa dikuasainya,pada tanggal 1 Maret 1908, Belanda mengganti sistem tanam paksa dengan belasting (pajak), yang justru semakin mencekik kehidupan masyarakat yang seudah merana akibat derita.

Sejak saat itu, masyarakat Minangkabau khususnya di daerah Kamang, menentang pembayaran pajak tersebut, mulai bangkit. Amarah perlawanan mulai menjalar dalam masyarakat, sehingga dilakukan berbagai langkah termasuk mempersiapkan diri dengan kemampuan beladiri dan persenjataan tradisional secara diam-diam.

Upaya menyamakan persepsi dan mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajah Belanda juga dijalarkan para tokoh ninik mamak, ulama dan tokoh masyarakat di seluruh bumi Sumatera Barat, dan dipersiapkan rapat khusus yang digelar tanggal 2 Juni 1908, diadakan rapat di Masjid Taluak, yang dihadiri oleh utusan tokoh masyarkaat dari Agam Tuo, Lubukbasung, Manggopoh, Padang Panjang, Batu Sangkar, dan daerah lainnya, “ rapat itu, memutuskan kebulatan tekat untuk menentang Belanda, mengusir penjajah dari ranah Minang, “jelasnya.

Dalam pertemuan itu, sebut AM.Dt.Maruhun Basa,terbentuk beberapa kelompok masyarakat yang dipimpin oleh H.Abdul Manan, M. Saleh Dt.Rajo Pangulu, M Yusuf Dt.Parpatiah Nan Sabatang, dan H.Jabang yang bertugas menggalang kekuatan dan mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajah, termasuk mempersiapkan pasukan perlawanan di wilayah masing-masing.

Pada tanggal 14 Juni 1908, ketika pasukan Belanda bergerak ke Kamang, melalui tiga rute, yaitu Gadut, Tanjung Alam dan Biaro, dan berkumpul di Kampung Tangah. Disepanjang perjalanan itu, terjadi perlawanan dari rakyat yang begitu hebat, dimana pasukan Belanda yang datang dari Tanjung Alam, dihadang oleh pasukan yang dipimpin M.Yusuf Dt.Parpatiah Nan Sabatang, dan disini beliau gugur sebagai syuhada’.

Sedangkan pasukan Belanda yang datang dari Gadut, dihadang oleh pasukan H. Jabang. Sampai di Kampung Tangah, pasukan Belanda langsung mengepung rumah H.Abdul Manan.

Namun pada kesempatan itu, H.Abdul Manan dan M Saleh Dt, Rajo Pangulu, menyerang pasukan Belanda dari 2 arah, yaitu dari arah Timur oleh pasukan yang dipimpin oleh M.Saleh Dt.Rajo Pangulu, sedangkan dari arah Barat oleh pasukan yang dipimpin H. Abdul Manan.

“Dalam pertempuran ini, H Abdul Manan, dan M Saleh, Dt, Rajo Pangulu, beserta istri beliau Siti Asyiah gugur,” jelasnya.

AM. Dt. Maruhun Basa menjelaskan, perlawanan rakyat di Kamang pada tahun 1908, bukan peristiwa yang terjadi dengan tiba-tiba, tapi merupakan bentuk ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan Belanda, dan perlawanan itu, walau dengan mengorbankan nyawa para pejuang yang syuhada itu, namun membuat penjajah Belanda kalang kabut.

“ Pengorbanan dan semangat perjuangan yang diperlihatkan para pahlawan bangsa itu, menjadi catatan dengan tinta emas dalam sejarah bangsa Indonesia, yang akan selalu dikenang dan yang akan selalu dipertahankan, “tegas ketua LKAAM Kamang Magek itu.

( HARMEN/* )

To Top