Oleh: Rahman Buya
Sesungguhnya kemewahan dan harta benda adalah amanah sekaligus ujian dari Allah SWT. Siapa yang berhasil menjalankan amanah itu, maka selamatlah dirinya. Namun jika dia gagal menjaga amanah itu, maka kecelakaan yang besar menantinya di yaumil akhir nanti.
Kesederhanaan dan keterbatasan dalam hidup, tidak berarti seseorang itu akan melemah kehormatan dan nilai kewibawaannya. Rasulullah SAW berwasiat dalam sabdanya, “Bagi setiap sesuatu terdapat ujian dan cobaan, dan ujian serta cobaan terhadap umatku adalah harta benda.” [HR. Tirmidzi].
Sebuah contoh keteladanan dan kesederhaan yang dimiliki oleh Khalifah Umar bin Abdul Azis tercatat dalam sejarah. Beliau adalah sosok pemimpin, dimana setelah dinobatkan menjadi khalifah, gaya hidupnya berubah, dari semula termasuk sosok yang selalu tampil mewah, sangat berkecukupan, namun setelah menjadi khalifah, tampilan keseharianya berubah menjadi sangat sederhana. Bahkan dalam sejarah dijelaskan, harta kekayaan yang dimilikinya (ketika belum menjadi khalifah), dia sumbangkan ke baitul maal (kas negara). Sebuah keteladanan yang patut dimiliki oleh seorang pemimpin yang mengemban amanah umat. Padahal dengan posisi, kedudukan, serta wewenang yang dimilikinya, sang khalifah dapat melakukan apa saja untuk memperkaya diri dan keluargnya.
Bagaimana kondisi kekinian yang kita lihat saat ini? Justru berbalik bahkan ada yang sudut rotasinya180 derajat. Semula (sebelum memegang jabatan) hanya biasa-biasa saja, tiba-tiba menjadi ‘luar biasa’. Awalnya tidak memiliki apa-apa, berubah menjadi ‘semua serba ada’. Memang sangat sulit menemukan sosok pemimpin saat ini yang berlaku ‘sederhana’. Semboyan dari rakyat untuk rakyat, siap bekerja 24 jam untuk rakyat, melayani, jujur, peduli, memperjuangkan orang-orang lemah dan miskin, dan berbagai pesan ‘rayuan’ lainnya, kebanyakan hanya untuk memperindah rangkaian kalimat dalam spanduk, balihoo, dan atribut ‘kampanye’ lainnya yang senada dengan ‘kata-kata manis’ diatas.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, rela menyumbangkan hartanya ke negara, tapi tidak demikian yang terjadi pada pejabat negara zaman ini, malah beberapa diantaranya ‘menguras’ kekayaan negara untuk memperkaya diri dan keluarganya.
Rasulullah saw menegaskan dalam sabdanya, “Orang yang paling dirundung penyesalan pada hari kiamat kelak adalah orang yang memperoleh harta dari sumber yang tidak halal, lalu dengan harta itu menyebabkan dia masuk kedalam neraka”. (HR.Bukhari).
Momentum pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak gelombang kedua yang diikuti 101 daerah dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia yang telah berlangsung kemarin (Rabu/15/2/2017), mudah-mudahan membawa angin perubahan (yakni terciptanya pemerintahan daerah yang efktif dan efisien), meski kemungkinan itu masih berupa harapan belaka. Mahalnya ongkos politik, panasnya persaingan antar kandidat, antar tim sukses, mencerminkan sulitnya kita menggapai harapan akan kesederhanaan kelak direfleksikan oleh mereka yang menguasai ‘panggung’ kekuasaan. Politik ‘balas dendam’ terkadang tak terelakkan, disamping itu upaya ‘pengembalian ongkos’ yang mahal selama ‘perhelatan’ kerap mewarnai pola kepemimpinan mereka. Ya..begitulah!
Kita masyarakat tentu berharap, agar mereka yang memegang jabatan publik, dapat memberikan teladan, dan jabatan yang dipukulnya agar dimaknai sebagai sebuah tanggug jawab, tidak membuatnya gelap mata.
Dalam suatu riwayat dikisahkan, sebelum wafatnya, Khalifah Abu Bakar menyampaikan wasiat kepada Aisyah. Beliau mengatakan, “Aisyah, tolong periksa seluruh hartaku. Jika ada yang bertambah setelah aku menjabat sebagai khalifah, kembalikan kepada negara melalui khalifah yang terpilih setelah ku”.
Adakah pemimpin negeri ini yang bersedia, menghitung kembali dan melaporkan dengan jujur, dan siap mengembalikan jika ada kelebihan yang sumbernya tidak jelas, sebagaimana yang dicontohkan Abu Bakar?
Sungguh sebuah pembelajaran dan keteladanan!
