Oleh : Rahman Buya
Kita sebagai manusia yang dinyatakan sebagai khalifah di muka bumi ini, banyak sekali mengemban amanah Allah dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah maupun sebagai makhluk sosial yang saling beriteraksi dengan sesama, mengurus berbagai keperluan umat.
Seorang pemimpin ketika telah diserahi suatu jabatan, maka dia wajib berlaku amanah, mentaati Allah dan Rasulnya (Muhammad SAW), dan dilarang keras berkhianat serta melanggar sumpah dan janji terkait amanah atau tanggung jawab yang dipikulnya. Bahkan dengan tegas Allah SWT menyatakan dalam Al-Qur’an Surat Al-Anfal ayat 27 :
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS. Al-Anfal: 27).
Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam tafsirnya yang dikenal dengan Tafsir Al-Maraghi, secara gamblang menjelaskan tafsiran ayat tersebut: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dengan menganggap sepi fardu-fardu yang disyariatkan-Nya, atau melanggar batas-batas-Nya dan menerjang hal-hal yang Dia suruh menghormatinya, yang telah dia terangkan kepadamu dalam kitab-Nya. Dan janganlah kamu mengkhianati Rasul (Muhammad) dengan tidak menyukai keterangan yang dia sampaikan mengenai kitab Allah, justru yang kamu sukai keterangan mengenainya dengan hawa nafsumu sendiri, atau berdasarkan pendapat guru-gurumu atau nenek moyangmu atau instruksi dari para pemerintah mu atau kamu tinggalkan sunnah rasul, sedangkan yang kamu anut justru tradisi nenek moyang mu dan para pemimpinmu, karena kamu menyangka mereka lebih tahu tentang yang dikehendaki Allah dan rasul-Nya dari pada dirimu sendiri”.
Kemudian lebih lanjut dalam Tafsir Al-Maraghi dinyatakan ayat itu menekankan: “Jangan pula kamu mengkhianati amanat-amanatmu diantara sesama kamu dalam soal mu’amalat, harta atau lainnya, bahkan sampai dalam soal kesopanan dan kemasyarakatan lainnya, dan termasuk larangan berkhianat diantara kamu dengan para pemimpin (ulil amri) sekalipun dalam urusan politik atau peperangan, jangan kamu beritahukan semua itu kepada musuhmu, sehingga musuh akan memanfaatkannya dalam memperdayakan kalian”.
Dan lebih jauh Islam mengajarkan agar taat terhadap para pemimpin yang mampu menjaga amanah dan tanggung jawab umat yang diembankan kepadanya. Dalam suatu hadist shahih yang diriwayatkan dari jalur Ummu al-Hushain al-Ahmasiyah yang disabdakan Rasulullah Saw saat berkhutbah di Haji Wada’, “Seandainya diangkat sebagai pemimpin atas kalian seorang hamba sahaya yang memimpin kalian dengan Kitabullah, maka dengar dan tataatilah” (HR. Muslim, Ibn Majah, an-Nasai, Ahmad).
Dalam pespektif Islam, dapat dinyatakan :
(1) Kepemimpinan itu tidak menjadi hak bangsa, suku, atau warna kulit tertentu; juga bukan monopoli keturunan tertentu. Sebaliknya kepemimpinan adalah hak seluruh muslim sesuai dengan syarat-syaratnya,
(2) Kepemimpinan tidak berdasarkan personaliti pemimpin itu, tetapi lebih bersadarkan hukum dan sistem yang diterapkan. Perintah untuk menaati pemimpin, meskipun dia berasal dari kalangan masyarakat biasa, ketika dia sudah menjadi pemimpin maka syariah memerintahkan untuk mentaatinya. Namun taat kepada pemimpin tidak menjadikannya bersifat muthlak, dan syariah membatasi ketaatan itu, yaitu selama pemimpin itu ‘yaquudukum bi Kitabillaah’ (memimpin kalian kalian dengan Kitabullah). Artinya ketaatan itu bukanlah ketaatan buta, tetapi harus diiringi nasehat, peringatan dan muhasabah sebagai sesuatu yang harus ada. Rasulullah memberikan salah satu indikator “taat’ kepada pemimpin “maa aqaama fikum Kitaaballaah” (selama dia menegakkan ditengah kalian Kitabullah).
