Lockdown yang dilakukan oleh sejumlah negara menggerakkan hati sejumlah kepala pemerintah daerah di Indonesia untuk memutuskan kebijakan perlu atau tidaknya lockdown di wilayah yang sedang dipimpinnya. Kebijakan ini lahir diakibatkan antisipasi terhadap penyebaran wabah virus corona, yang belakangan marak terjadi dan dibicarakan di Indonesia.
Dampak dari lockdown, sebagaimana diberitakan adalah berimbas pada ditutupnya sejumlah perkantoran, pusat-pusat perdagangan, sekolah-sekolah dan bahkan masjid yang dipergunakan oleh masyarakat untuk melakukan rutinitas ibadah berjamaah dan shalat Jum’at. Dan ini adalah resiko yang tak mungkin dihindari demi kemaslahatan.
Bagaimanapun juga, setiap tindakan mengambil kemaslahatan memang memerlukan adanya tolok ukur. Tolok ukur yang utama adalah tindakan yang paling bermaslahat bagi masyarakat. Kemaslahatan ini tidak hanya terhenti pada aspek maslahah-maslahah yang sifatnya umum semata, melainkan harus bersifat khusus, misalnya guna menghindari timbulnya halak (binasa).
Syeikh Izzuddin bin Abdul Salam dalam Qawaidul Ahkam menyampaikan:
واعلم أن تقديم الأصلح فالأصلح ودرء الأفسد فالأفسد مركوز في طبائع العباد … ولا يُقدَّمُ الصالح على الأصلح إلا جاهل بفضل الأصلح أو شقيٌ متجاهل لا ينظر إلى ما بين المرتبتين من التفاوت
Artinya:
“Ketahuilah, mendahulukan sesuatu yang lebih maslahat demi kemaslahatan yang lebih besar, menolak kemafsadatan (kerusakan yang lebih kecil) karena adanya kemafsadatan yang lebih besar lagi adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia… Tidaklah mendahulukan suatu maslahat kecil dengan meninggalkan kemaslahatan yang lebih besar kecuali hanya orang yang bodoh, tidak mengetahui pentingnya kemaslahatan yang lebih besar, atau ia orang yang celaka dan membutakan diri, tidak mau melihat kepada perbedaan dua derajat kemaslahatan itu.”
Setidaknya, berdasarkan kalimat ini, Syekh Izzuddin bin Abdul Salam telah meletakkan pondasi dalam meraih kemaslahatan, yang secara ringkas adalah: (1) kemaslahatan yang dituju harus terlihat nyata, (2) ada sebab yaitu timbulnya kemaslahatan yang lebih besar, (3) jelas perbedaannya antara kedua kemaslahatan kecil dan kemaslahatan yang besar, dan oleh karenanya (4) perlu adanya pengukuran data.
Tidak ada sesuatu yang bisa dianggap sebagai ashlah (lebih maslahat) tanpa pengukuran, dan pengukuran ini hanya ada pada metodologi riset. Dengan demikian, sesuatu dianggap maslahat bila ada data yang menunjuk kepada lebih maslahatnya itu berdasarkan hasil riset. Jadi, kata kuncinya adalah “data”. Adapun posisi nash adalah sebagai kalibrasi atau tolok ukur.
Data dalam hal ini, ditinjau dari aspek fiqihnya adalah berperan selaku informasi-informasi pendukung (madhinnah). Dalam dunia keilmuan al-jarh wa al-ta’dil, data berperan selaku faktor murajjih, yaitu penguat dugaan sehingga dapat menaikkan status perkara yang diperselisihkan (mukhtalaf bih) sebagai yang rajih (diunggulkan) salah satunya agar dapat dipedomani.
Misalnya, adanya ikhtiar dari para ahli di bidang kesehatan, seumpama WHO atau peringatan dini dari dokter muslim.
Bila para ahli kesehatan sudah mengkhabarkan bahwa pintu utama terjadinya penyebaran wabah penyakit adalah akibat kontak langsung dengan penderitanya, atau orang yang pernah berdekatan dengannya, maka berusaha menciptakan kebijakan yang mampu melokalisir penderita dari “semula umum tanpa batas” menjadi lebih bersifat “khusus dan berbasis lokal,” adalah langkah yang diunggulkan, sebab keberadaan faktor murajjih berupa data riset penularan penyakit.
Pentingnya data riset ini jauh membedakan dari makna thiyarah yang berkonotasi pada makna kengawuran atau tindakan spekulatif tanpa pertimbangan. Allah SWT telah berfirman di dalam Al-Qur’an mengenai celaan terhadap tindakan thiyarah dari Fir’aun dan bala tentaranya. Firman Allah SWT:
فَإِذا جاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قالُوا لَنا هذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسى وَمَنْ مَعَهُ أَلا إِنَّما طائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian apabila datang kepadanya kemakmuran, mereka berkata: ‘Ini disebabkan (usaha) kami.’
Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Q.S. Al-A’raf [7]: 131).
Ayat ini memang berkonotasi sebagai kalam khabar, karena susunannya bernuansa berita dari Allah SWT mengenai kelakuan Fir’aun dan bala tentaranya. Meski demikian, dari khabar ini, tersimpan makna insya’, yaitu harapan atau perintah agar menjauhi thiyarah, suatu informasi yang mengedepankan tuduhan kesialan yang diakibatkan oleh kaum tertentu atau bangsa tertentu.
Pelemparan tuduhan kesialan semacam ini sama sekali di luar fakta ilmiah dan bertentangan dengan konsep tabayyun (mencari bukti dan data pendukung ilmiah tanpa tendensi kebencian).
Thiyarah dalam ayat di atas seolah sama dengan upaya mendeskreditkan kalangan tertentu, membunuh karakternya, tanpa penyertaan bukti dan data yang benar (ta’dil), berisi spekulasi dan tuduhan-tuduhan, yang dilatarbelakangi oleh ujaran-ujaran kebencian semata.
Dan ini adalah sunnah Fir’aun, sebagaimana tertuang dalam ayat dalam rangka men-smackdown Nabi Musa. Tapi Allah SWT memiliki kehendak lain, justru menguatkan Nabi Musa dengan anugerah lisan yang fasikh bersama dengan Nabi Harun alaihima as-salam.
(sumber: islami.co)