Catatan : Harmen
Judul catatan penulis kali ini menjadi bersayap, yang jumlah sayapnya pun bisa diasumsikan beragam (mungkin) oleh para pembaca. Maknanya (mungkin) juga bisa beragam ditafsirkan, sesuai dari sudut pandang masing-masing.
Tapi dari kata yang terangkai berasumsi “dalam duo tangah tigo” bisa jadi penggambaran sebuah perhitungan yang tak konsisten, selalu bergerak, bergoyang seiring irama, nada, arah angin atau bisa jadi sesuai suasana yang ada. Tergantung situasi terkini.
Kalimat ini, penulis dapat justru ditengah “ngopi-ngopi” bersama beberapa rekan yang “mete-mete” (curhat) tentang kekinian kondisinya. Kawan yang merasa dekat dengan para penguasa, dekat dengan pemegang tali kendali kekuasaan dan kawan yang merasa punya jasa memberi warna-warni politik di daerah ini.
Menariknya. Bahkan jujur saja, penulis sampai terkekeh geli mendengar apa yang disampaikan sang teman yang mengaku tak menyangka sosok yang mereka puja, justru akhirnya tak serupa dengan ekspekstasi awal yang memberi rasa bangga.
Sama sekali tak menduga, bahwa ternyata mereka yang sudah trauma akan janji-janji yang dari para pendahulu negeri ini yang dulunya mereka terima,justru tak jauh beda dari apa yang mereka rasakan saat ini.
Menulis memberi argument, mungkin saja karena suasana dan kondisi kekinian,bisa jadi penyebab dianggap berubahnya sosok yang mereka puja. Suasana dan kondisi kekinian itu bisa saja berasal dari berbagai hal, termasuk isu-isu yang selama ini ditelan bulat-bulat tanpa klarifikasi bahkan konfirmasi yang berujung pada penghukuman pada pihak yang sama sekali tidak tahu apa-apa.
Atau karena penyebab lain, untuk sekedar memberi kata penyejuk yang entah iya entah tidak, bisa diukur akurasi dan kebenarannya. Atau memang hal itu sudah menjadi bagian dari tabiat politik yang hanya bisa mengumbar janji-janji, tanpa tahu apa yang dijanjikan (?) apalagi solusi dari janji yang diucapkan. Semua masih berbalut entah, karena memang tidak ada jawab yang pas. Itu argument penulis saat menanggapi “mete-mete” kawan tadi.
Tapi responnya justru diluar dugaan. Sang kawan justru secara terbuka menyampaian deretan janji-janji dan deretan nama-nama yang termakan janji, yang jumlahnya pun sulit untuk diurai. Penulis langsung terdiam.
“ Ndak bisa dipacik, dalam duo tangah tigo,” ungkap sang kawan. Penulis pun hanya bisa kembali menghirup kopi hangat, karena sudah menjelang sahur.-(*).-