Jakarta, KABA12.com — Penyelenggaraan Pilkada serentak 2018 disebut memiliki sembilan ancaman konflik yang berbeda-beda.
Perkiraan potensi itu disampaikan langsung Wakil Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Lukman Edy di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (7/11).
Menurutnya, unsur pertama yang bisa menyebabkan konflik adalah sosialisasi Undang-undang Pilkada, Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Peraturan KPU. Ia mengklaim masih banyak penyelenggara dan pengawas pemilu di daerah yang kurang memahami isi UU Pilkada, Perbawaslu, maupun PKPU.
“Saran saya masifkan sosialisasi di penyelenggara tingkat kabupaten ke bawah termasuk masyarakat, baik menggunakan forum tertutup atau media lain,” ujar Lukman dalam diskusi Potensi Konflik Pilkada Serentak 2018 di kantor KPU tersebut.
Kedua, lanjutnya, konflik dapat muncul akibat ulah pejabat petahana yang hendak kembali mencalonkan diri. Lukman mengakui substansi UU Pilkada saat ini memang menaruh kecurigaan besar terhadap petahana yang hendak ikut Pilkada untuk kedua kalinya.
Ia menyarankan KPU dan Bawaslu masif melakukan sosialisasi Pasal 71 UU Pilkada yang mengatur larangan dan batasan gerak petahana jika ingin dalam kontestasi.
Faktor ketiga penyebab konflik adalah keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pilkada. Lukman mencontohkan, saat ini banyak ASN sengaja berpihak dalam Pilkada dengan harapan mendapat promosi dari calon kepala daerah yang didukung.
“Solusinya, harus ada MoU [nota kesepahaman] antara Bawaslu, KPU, Kemendagri, Kemenpan, BKN, di mana semua keputusan Bawaslu soal keterlibatan ASN wajib dieksekusi,” ujar Lukman.
Lalu, faktor keempat adalah keterlibatan TNI dan Polri. Menurutnya, ada kemungkinan oknum TNI dan polisi ikut bermain dalam Pilkada melalui dukungan ke calon-calon kepala daerah tertentu. Dalam proses demokrasi, TNI dan Polri sebagai alat pertahanan dan penegak hukum seharusnya netral dan tidak memihak.
Kelima, konflik akibat politik uang juga ancaman yang mungkin terjadi. Menurut Lukman, politik uang dapat terjadi baik dalam skala eceran melalui pembagian uang dan sembako dari rumah ke rumah, pun dalam skala besar dengan ‘membeli’ di TPS.
Faktor penyebab risiko konflik keenam adalah salah hitung dan rekapitulasi hasil pemungutan suara. Untuk faktor ini, Lukman meminta agar KPU dan Bawaslu bisa memperbaiki sistem pemilihan untuk mencegah timbulnya dampak negatif pascapemilihan dilakukan.
“Saran saya gabungkan mekanisme manual dan elektronik (dalam rekapitulasi suara). Pengawasan tak ada larangan menggunakan sistem elektronik,” katanya.
Faktor selanjutnya adalah konflik akibat adanya oknum KPU dan/atau Bawaslu yang berpihak pada calon kepala daerah. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini curiga penyelenggara dan pengawas di tingkat kabupaten/kota ke bawah rawan berpihak saat Pilkada dan pemilu dilakukan.
“Selanjutnya konflik akibat kampanye. Ini pasti akan terjadi, kita (PBB) saja sudah di-bully dan black campaign ‘jangan pilih partai pendukung penista agama.’ Banyak muncul meme seperti itu,” katanya.
Terakhir, konflik mungkin terjadi jika ada konflik antara parpol dan kandidat. Kemungkinan ini besar terjadi apabila ada calon kepala daerah kuat dari jalur perseorangan di suatu daerah.
Sumber : CNNIndonesia.com
(Dany)
