Tokoh

Tuanku Nan Tuo (1723-1830): ( Bagian II)Pemimpin Ulama Minangkabau, Golong Alhussunal Wal Jama’ah

Oleh: Efri Yoni Baikoeni

Aksi campur tangan Belanda dimulai ketika kaum adat yang sudah terdesak kelompok agama meminta bantuan Belanda di Padang tahun 1821. Kedua belah pihak kemudian menandatangani perjanjian yang menyerahkan kekuasaan kaum adat kepada Belanda demi membasmi gerakan “Harimau Nan Salapan”.

Perjanjian itu ditandatangani oleh 14 orang wakil-wakil dari kaum adat dipimpin oleh Tuanku Suruaso. Mulai saat itu, Gerakan Paderi menghadapi dua musuh sekaligus yaitu kaum adat dan kompeni Belanda.

Pada saat itu, beberapa ulama yang berpengaruh dan bertempat tinggal di tengah-tengah alam Minangkabau telah mempersiapkan diri untuk menggempur kompeni Belanda. Gerakan pemberontakan dan perlawanan itu dikepalai oleh Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol.

Gerakan mereka ini mendapat sambutan besar dari rakyat, sehingga dalam waktu singkat saja mereka sudah dapat menyusun suatu kekuatan dan angkatan perang yang cukup besar jumlahnya.

Gerakan ini boleh dipandang sebagai langkah pertama dari orang Minangkabau dalam menghadapi perlawanan terhadap Belanda yang berlangsung lama dan memakan korban yang tidak sedikit. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi Perang Paderi yang masyhur itu.

Pada tahun 1822, dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol dilancarkan serangan pertama kepada Belanda yang berpusat di Air Bangis. Jalaluddin @ Fakih Sagir @ Tuanku Samik. Diantara murid Tuanku Nan Tuo yang terkemuka bernama Jalaluddin yang mendirikan suraunya di Koto Lawas. Surau ini menjadi tempat berdirinya surau Syathariyah. 

Tujuan Jalaluddin mendirikan suraunya adalah untuk menciptakan suatu masyarakat Muslim sebenarnya di Minangkabau melalui kesetiaan penuh pada penerapan jalan hidup Islam sebagaimana diajarkan syariat. Untuk tujuan itu, Jalaluddin mengajarkan kepada para muridnya sebagai aspek hukum Islam.

Selain sebagai murid, Jalaluddin juga merupakan putera dari Tuanku Nan Tuo. Dia kemudian dikenal dengan nama Fakih Sagir. Pada waktu tuanya, Fakih Sagir kemudian dikenal pula sebagai “Tuanku Sami’.

Jalaluddin alias Fakih Sagir alias Tuanku Sami’ ini kemudian mewariskan keturunan ulama di Minangkabau yang berkhidmat kepada agama Islam tidak hanya di kancah nasional bahkan internasional.

Paska Perang Paderi, Jalaluddin diajak Belanda bekerjasama karena dinilai tidak terlibat dalam perang “basosoh” tersebut. Sikapnya itu tidak terlepas dari pertentangan paham dengan Tuanku Nan Renceh sehingga suraunya pernah dibakar dan diapun dicap kafir oleh kelompok radikal tersebut.

Jalaluddin diangkat menjadi Regen di Luhak Agam dengan gelar “Tuanku Regen” menggantikan Datuk Bagindo Khatib yang tidak disukai oleh kaum adat. Anak dari Fakih Sagir bernama Fakih Muhammad, kemudian disebut Syeikh Muhammad Tuanku Cangkiang. Pada saat itu, pemerintahan di Ampek Angkek dipimpin oleh Datuk Bagindo sebagai “Tuanku Laras”.

Datuk Bagindo Khatib bekas Regen Agam yang digantikan oleh Jalaluddin mempunyai anak perempuan bernama Siti Zainab. Anak ini dinikahkan dengan seorang tuanku bergelar Tuanku Nan Rancak. Perkawinan tersebut melahirkan empat orang anak, dua perempuan dua laki-laki. Yang sulung perempuan bernama Gandam Urai, dan adik perempuannya bernama Limbak Urai.

Gandam Urai dinikahkan dengan Fakih Muhammad dan lahir beberapa orang putera dan puteri. Diantaranya adalah Syeikh Ahmad Taher Jalaluddin yang kemudian menjadi ulama terkenal di Malaya dan meninggal dunia pada tahun 1956.

Sedangkan Limbak Urai dikawinkan dengan Abdullatif gelar Khatib Nagari, putera Tuanku Abdurrahman gelar Datuk Penghulu Besar, seorang “Hoofjaksa” di Padang. Dari perkawinan tersebut lahirlah beberapa orang putera, diantaranya Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, guru besar agama Islam dalam Mazhab Syafi’i dan imam serta khatib dari Masjidil Haram di Makkah.

Anak yang lain dari Tuanku Abdurrahman gelar Datuk Penghulu Besar itu adalah Sutan Muhammad Salim, Hoofjaksa di Tanjung Pinang Riau yang merupakan ayah dari Haji Agus Salim.
Tuanku Nan Renceh

Selain Jalaluddin, Tuanku Nan Tuo memiliki murid lainnya bernama Tuanku Nan Renceh. Murid paling fenomenal ini berasal dari Bansa, Kamang karena dinilai sangat radikal bahkan pernah meminta gurunya sendiri untuk mengubah pendekatan yang evolusioner dan damai terhadap pembaharuan Islam.

Meski gagal mendapatkan dukungan dari Tuanku Nan Tuo, Tuanku Nan Renceh mendapat dukungan kuat dari tiga orang haji yang baru kembali dari Makkah tahun 1803 yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang.

Tuanku Nan Renceh bersama ketiga haji tersebut kemudian dikenal sebagai Kaum Paderi, memaklumkan jihad melawan kaum Muslim yang tidak mau mengikuti ajaran-ajaran mereka. Akibatnya perang saudara meletus di tengah masyarakat Minangkabau. Surau–surau yang dianggap sebagai kubu-kubu bid’ah, diserang dan dibakar hingga rata dengan tanah, termasuk surau Tuanku Nan Tuo dan Jalaluddin.

Keluarga bangsawan dan para penghulu, yang juga menjadi sasaran utama, segera meminta bantuan Belanda. Kaum adat kemudian menyerahkan kekuasaan Minangkabau kepada pemerintah kompeni Belanda tanggal 10 Pebruari 1821 di kota Padang. Dengan campur tangan Belanda, perjuangan Minangkabau untuk pembaharuan berubah menjadi Perang Paderi melawan Belanda, dan perang itu baru berakhir pada penghujung 1830-an.

Tuanku Imam Bonjol
Selain Jalaluddin dan Tuanku Nan Renceh, Tuanku Nan Tuo juga memiliki murid lainnya bernama Tuanku Imam Bonjol. Anak dari Tuanku Radjo Nurdin.

Pada waktu kecil, Tuanku Imam Bonjol yang berasal dari Tanjung Bunga tersebut diberi nama oleh ayahnya Peto Syarif. Pada masa mudanya, Peto Syarif pernah belajar hukum agama dengan Tuanku Nan Tuo di Cangking. Usai berguru kepada Tuanku Nan Tuo, Peto Syarif kemudian berguru kepada Tuanku Nan Renceh di Kamang. – (Habis)

To Top