Tokoh

Tuanku Nan Tuo (1723-1830): ( Bagian 1 dari 2 Tulisan)Pemimpin Ulama Minangkabau, Golong Alhussunal Wal Jama’ah

Oleh: Efri Yoni Baikoeni

Tuanku Nan Tuo adalah seorang ulama yang memainkan peranan penting dalam kebangkitan pembaharuan Islam di Minangkabau. Dia lahir tahun 1723, meninggal dunia tahun 1830 dan dimakamkan di Cangking, Ampek Angkek.

Tuanku Nan Tuo merupakan murid dari Tuanku Mansiangan Nan Tuo, yang merupakan murid dari Syeikh Burhanuddin. Tuanku Nan Tuo juga diriwayatkan belajar di Surau Ulakan dengan murid-murid Syeikh Burhanuddin lainnya.

Usai menimba ilmu di daerah pesisir tersebut, Tuanku Nan Tuo kembali ke darat dan mendirikan surau di Cangkiang, Ampek Angkek. Dia pun kemudian terkenal sebagai seorang ulama syariat dan tasawuf. Karena keahliannya dalam kedua aspek Islam ini, Tuanku Nan Tuo mendapat julukan “Sultan Alim Awliya Allah” yang menjadi “Pemimpin Seluruh Ulama Minangkabau Golongan Ahlussunnah Waljama’ah”.

Karena ketinggian ilmunya, surau Tuanku Nan Tuo di Cangkiang mendapat kunjungan banyak murid yang berguru kepada ulama besar tersebut. Usai menimba ilmu, murid-muridnya kembali ke desa masing-masing untuk mengajar dan membuka surau sendiri demi menjalankan dakwah dan syariat Islam.

Pendekatan Islam Kultural
Dalam menyebarkan pemahaman Islam di kalangan masyarakat Minangkabau, Tuanku Nan Tuo dikenal sebagai ulama moderat karena menggunakan pendekatan dakwah secara kultural. Baginya dakwah Islam hendaklah disampaikan secara damai dan toleran sehingga tidak menimbulkan goncangan dalam masyarakat.

Tuanku Nan Tuo mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk pembaharuan masyarakat Minangkabau. Dia menjelaskan kepada masyarakat perbedaan antara baik dan buruk, serta antara perbuatan kaum Muslim dan orang-orang kafir.

Dia menekankan kepada para muridnya tentang pentingnya masyarakat Minangkabau mengikuti jalan Ahlussunnah Waljama’ah, yang mendasarkan kehidupan mereka kepada Al Quran dan hadist. Pada saat yang sama, dia memperingatkan mereka, kegagalan melakukan hal itu hanya akan mengakibatkan ketidaknyamanan dan kekacauan sosial.

Tuanku Nan Tuo tidak puas hanya dengan menguliahi para murid di suraunya mengenai syariat. Dia sendiri bersama dengan muridnya, memimpin jalan ke lapangan, dimana praktek-praktek yang tidak Islami seperti perampokan, minum arak dan perbudakan yang masih merajalela.

Tuanku Nan Tuo mengunjungi tempat-tempat terjadinya perampokan dan penawanan orang-orang untuk dijual sebagai budak, atau ajaran-ajaran syariat dilanggar. Dia menghimbau orang-orang yang terlibat dalam hal-hal itu untuk melepaskan diri dari perbuatan-perbuatan keliru tersebut, kalau tidak, mereka akan menerima serangan dan hukuman. Hasilnya, kedamaian kembali ke wilayah itu dan perdagangan sekali lagi berkembang di sana. Tuanku Nan Tuo, yang juga seorang pedagang ulet, dikenal sebagai “tempat perlindungan” para pedagang.

Pendekatan kulturalnya juga ditunjukkan dengan upayanya menyusun Tambo Alam Minangkabau dengan dasar Agama Islam. Dia berupaya memperkaya adat Minangkabau dengan agama Islam sehingga hukum-hukum Islam banyak dijadikan hukum adat.

Perubahan Sikap
Sikapnya yang mengutamakan pendekatan kultural tersebut bertolak belakang dengan sikap yang diambil oleh sebagian murid-muridnya seperti Tuanku Nan Renceh yang lebih memilih pendekatan struktural. Kelompok ini menghalalkan kekerasan atau radikalisme untuk merubah masyarakat yang tidak lagi menjalankan ajaran Islam secara benar.

Sebagai ulama terkemuka, Tuanku Nan Tuo sering didatangani Tuanku Nan Renceh untuk mengubah pendekatannya agar lebih revolusioner. Dia diminta sebagai imam dalam gerakan ini. Kelompok ini berkembang lebih luas setelah kepulangan tiga orang haji dari Makkah tahun 1803 yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang.

Pada awalnya, Tuanku Nan Tuo tidak setuju. Menurutnya, apabila telah ada orang beriman di satu negeri walaupun hanya seorang, tidaklah boleh negeri itu diserang. Maka yang penting menurutnya adalah menanamkan pengaruh yang besar pada setiap negeri.

Apabila seorang ulama di satu negeri sudah besar pengaruhnya, maka ulama itu dapat memasukkan pengaruhnya kepada penghulu-penghulu, imam-khatib, manti dan dubalang. Sebab nagari-nagari di Minangkabau telah kokoh memegang adat yang berdasarkan musyawarah.

Dengan jalan demikian, sekali-kali tidaklah ada pertentangan diantara adat dan agama. Lebih baik bekerjasama dengan kaum adat daripada mengadakan pertentangan. Kalau terjadi pertentangan kedua pihak, orang lainlah yang mendapat keuntungan, apalagi kompeni Belanda sudah berkuasa di kota Padang.

Sikap dan pendekatan Tuanku Nan Tuo itu tentu saja menjengkelkan hati golongan muda ini. Tuanku Nan Tuo dideskriditkan sebagai “rahib tua” sedangkan murid-muridnya yang memilih pendekatan serupa dituduh telah keluar dari Islam.

Upaya merubah sikap Tuanku Nan Tuo tidak berhenti sampai di sana. Tuanku Nan Renceh kemudian melakukan upaya lain dengan mendatangi seorang tuanku di Mansiangan yaitu putera dari Tuanku Mansiangan Nan Tuo, yaitu guru daripada Tuanku Nan Tuo.

Kelompok radikal ini mentahbiskan Tuanku Mansiangan yang muda itu sebagai “Tuanku Nan Tuo” sekaligus “Imam Perang”. Oleh karena yang diangkat menjadi imam itu adalah anak daripada gurunya sendiri, sulitlah bagi Tuanku Nan Tuo itu hendak menentang gerakan ini.

Selain karena faktor psikologis, Tuanku Nan Tuo juga menyaksikan pertentangan antara gerakan radikalisme agama ini dengan kaum adat sudah berkembang sedemikian rupa. Gerakan ini tidak lagi hanya sebatas gerakan puritanisme dalam agama Islam, namun juga gerakan nasionalisme untuk memerangi kaum kafir yang ingin menancapkan kekuasaannya di Indonesia.

Kelompok radikal ini kemudian membentuk semacam komando yang dikenal dengan “Harimau Nan Salapan” yang dipicu oleh kegelisahan-kegelisahan dan rasa tidak senang terhadap aksi kompeni Belanda di Minangkabau. Gerakan ini dipimpin oleh delapan orang ulama berpengaruh yang mampu sebagai pendorong semangat perjuangan dan bersemangat macan. ( Bersambung)

To Top