Tokoh

Tokoh Agam Hebat,Prof.Dr.H.Hasyim Djalal,MA ( Bagian II)“ Patriot Negara Kepulauan “

Oleh: Efri Yoni Baikoeni

Cita-cita menjadi diplomat, tidak saja jadi harapan bagi Hasjim semata. Banyak juga teman-temannya yang berjuang jadi diplomat seperti John Muzhar. Ketiga mereka adalah alumni SMA Birugo tahun 1953 yang kemudian sama-sama masuk Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN) Angkatan 1953.

Meninggalkan Kampung Halaman
Setelah cukup menimba ilmu dan pengalaman di kampung, Hasjim Djalal pergi merantau ke Jakarta. Meski merantau adalah budaya anak muda di Minangkabau, namun tidak mudah bagi Hasjim meyakinkan keluarganya karena tantangan ekonomi yang berat. Dengan sungguh-sungguh Hasjim meyakinkan kedua orang tuanya akan rencananya ke Jakarta.

Beberapa waktu kemudian, Hasjim yang sempat kuliah di UI kemudian “banting stir” fokus ke ADLN tahun 1953. Saat itulah Hasjim baru sadar bahwa dia sesungguhnya ingin menjadi diplomat. Pilihan yang dihadapinya adalah dia teruskan kuliah di FE UI dan artinya menandatangani kontrak jaminan kerja.

Di sisi lain, dia sangat ingin menjadi diplomat dan telah menandatangani perjanjian dengan ADLN/Kementerian Luar Negeri. Akibatnya, Hasjim harus rela meninggalkan FE UI dan memilih ADLN yang menjadi bagian cita-citanya.

ADLN ini mulai dibuka Kementerian Luar Negeri RI pada tahun 1949 dan penerimaan calon diplomat pertama kali dilakukan tahun 1950. Mantan Menlu RI, Ali Alatas merupakan Menlu pertama berlatar belakang diplomat karir karena merupakan angkatan pertama tahun 1950.

Kuliah di Amerika
Meski sudah jadi pegawai negeri sejak 1 Januari 1957, namun cita-cita untuk kuliah di Amerika tidak pernah goyah. Karena tidak dapat dukungan Kemlu, Hasjim berusaha mencari beasiswa sendiri mengingat keluarganya tidak mampu membiayai kuliah apalagi ke Amerika.

Dengan berbekal beasiswa dari United States Information Services (USIS) di Jakarta selama setahun, pada tahun 1957, Hasjim menuju Amerika. Inilah untuk pertama kalinya, dia melanglang buana ke luar negeri dalam usia sangat belia, 23 tahun. Dia memilih belajar ke Amerika karena peranan negara “superpower” itu yang sangat besar dalam hubungan internasional. Pada waktu itu, kebijakan Amerika menjadi pusat perhatian di ADLN.

Hasjim Djalal mulai kuliah di University of Virginia pada bulan September 1957. Di University of Virginia, Hasjim kuliah Hubungan Internasional. Di University of Virginia, dia ditunjuk jadi anggota Executive Board of Foreign Student Association. Kesempatan ini telah menambah wawasan pergaulan dengan mahasiswa asing lainnya di Amerika.

Setelah setahun kuliah di University of Virginia, beasiswa dari USIS berakhir, padahal untuk meraih S-2 diperlukan waktu 2 tahun. Karena itu, dia berusaha mendapatkan dukungan universitas untuk memperpanjang beasiswanya.

Setelah merampungkan S-2 nya ternyata Hasjim Djalal masih belum puas menimba ilmu karena sejak semula bercita-cita ingin kuliah setinggi-tingginya sebelum berkarier. Berkat dukungan fakultas, Rockefeller Foundation memberinya beasiswa sebanyak US$1,000 dan universitas memberikan uang saku dari 5 yayasan yang beasiswanya masih tersisa dengan jumlah US$105/bulan.

Dengan demikian, dia berkesempatan lagi kuliah S-3 sambil tetap bekerja paruh waktu untuk bertahan hidup di rantau orang. Sedikit berbeda dengan strata sebelumnya, pada waktu kuliah S-3, Hasjim mulai tertarik mempelajari Hukum Laut Internasional.

Pada dasarnya studi ini adalah kajian mengenai hukum di laut yang diatur secara internasional termasuk tentang batas-batas wilayah laut antar negara. Pada waktu itu, Hasjim menulis disertasi berjudul: “The Limits of Territorial Waters in International Law” tahun 1961.

Dalam disertasinya, Hasjim berhasil meyakinkan kalangan akademik di University of Virginia bahwa hukum laut internasional perlu memperhatikan keadilan bagi Negara Kepulauan dalam menjaga dan memanfaatkan potensi laut yang dimilikinya.

Kekayaan laut di Negara Kepulauan hendaklah dapat menyejahterakan masyarakatnya dan tidak sepantasnya diekploitasi negara lain. Studi berakhir 6 bulan lebih cepat dari jadwal wisuda S-3 dalam usia 27 tahun. Dengan sangat sedih dan menyesal beliau tidak hadir saat wisuda karena sudah kembali ke Tanah Air.

Kiprah Internasional
Sebagai diplomat ulung sekaligus ahli Hukum Laut Internasional (UNCLOS), Hasjim Djalal banyak terlibat dalam perundingan mengenai batas wilayah perairan Indonesia dengan negara tetangga.
Sebagai Negara Kepulauan yang diapit banyak negara tetangga, sengketa perbatasan wilayah dapat menyulut permusuhan.

Karena itu sejak tahun 1969, Hasjim Djalal sudah terlibat dalam melakukan perundingan batas wilayah seperti: Malaysia, Thailand, Australia, India dan Vietnam. Hasjim Djalal menjadi inisiator dan mediator dalam penanganan potensi konflik di Laut Cina Selatan.

Meskipun Indonesia bukanlah negara yang terlibat dalam sengketa, namun Pemerintah Indonesia mengambil inisiatif untuk meredakan konflik karena melibatkan nagara ASEAN seperti: Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam dan Cina bahkan Taiwan.

Hal ini dilatarbelakangi fakta bahwa konflik Kepulauan Spratly ibarat halaman belakang Indonesia. Apabila konflik meluas dan tidak terkendali, tentu Indonesia yang sedang melaksanakan pembangunan akan merasakan dampak negatifnya.Hasjim Djalal juga diberi kepercayaan menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di beberapa negara sahabat dan Perwakilan Tetap RI yaitu: Jerman, Kanada dan PBB.

Ketika diangkat sebagai Duta Besar untuk Kanada, beliau berusaha mengembangkan kerjasama dalam bidang perlindungan lingkungan, termasuk lingkungan laut dan pengembangan kerjasama Pasifik terutama di bidang ekonomi.

Hal itu didasarkan pada perhatian Kanada yang sangat besar terhadap masalah perlindungan lingkungan laut, cukup intensifnya pengkajian masalah Islam di universitas, terutama di McGill University di Montreal, dan perhatian Kanada yang mulai berkembang terhadap pengembangan kerjasama Asia Pasifik, termasuk lintas Pasifik antara Asia dan Kanada.

Ketika menjabat Duta Besar di Jerman yang sedang dalam revolusi, Indonesia adalah negara pertama yang menghulurkan kerjasama setelah Jerman bersatu. Hal ini ditandai dengan kunjungan kenegaraan Presiden Soeharto sebagai kepala negara pertama yang berkunjung ke Jerman bersatu.

Ketika menjabat sebagai DCM dengan pangkat Duta Besar di Perwakilan Tetap Indonesia (PTI) di New York dengan Kepala Perwakilannya Abdullah Kamil, Hasjim Djalal menjadi anggota delegasi Indonesia dipimpin Menlu, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja menandatangani Konvensi Hukum Laut Internasional PBB (UNCLOS 1982) tanggal 10 Desember 1982 di Jamaica.-(Habis).

Kiprah Untuk Kampung Halaman
Meski sebagian besar roda kehidupannya bergerak di rantau orang namun sebagai putera daerah Sumatera Barat, perhatian Hasjim Djalal pada kampung halamannya tidak pernah diam. Setelah kembali dari AS dengan menggondol ijazah PhD, Hasjim menyediakan waktunya jadi dosen “terbang”.

Ketika jadi diplomat di Singapura, dirinya menyaksikan pembukaan jalur penerbangan langsung Padang-Singapura dengan maskapai “Pelangi Air”. Ketika menjabat Duta Besar di Jerman, misi kebudayaan Minangkabau mementaskan kebolehannya di hadapan masyarakat lokal.

Ketika jadi pejabat tinggi Kemlu RI, Hasjim menggalang semangat diplomat muda putera daerah “pulang kampung” menganalisa perkembangan daerah untuk disinergikan dengan tugas diplomasi di luar negeri. Atas semangatnya, pihak pengusahapun turut serta hingga kegiatan itu bergerak secara swadaya, meski kemudian Hasjim dicap “kesukuan”.

Perhatiannya terhadap budaya dan pariwisata juga luar biasa. Bersama dengan diplomat senior Abdullah Kamil, berdirilah Yayasan Genta Budaya dengan Gedung “Abdullah Kamil”-nya di Padang. Disinilah tersimpan khasanah budaya berharga, karena koleksinya dikumpulkan dari berbagai belahan dunia.

Di bidang pendidikan, Hasjim memberi dukungan pendirian jurusan Hubungan Internasional di Universitas Andalas, memberi kuliah diplomasi Indonesia di Universitas Bung Hatta (UBH). Bahkan di kampungnya sendiri, Hasjim dan keluarganya membangun sarana pendidikan untuk anak nagari Ampang Gadang.( *)

To Top