Jakarta, KABA12.com — Maraknya kasus narapidana terorisme yang menjadikan penjara sebagai lokasi pelatihan jihad dan merekrut anggota, membuat lokasi penahanan setiap narapidana harus diatur ulang. Hal tersebut diungkapkan oleh Peneliti Kajian Strategis Intelijen Universitas Indonesia Ridlwan Habib.
Menurutnya, terpidana kasus terorisme jangan dicampur dengan terpidana kasus lain saat menjalani hukum.
“Tapi yang terjadi saat napi teroris dipenjara, berubah jadi sekolah jihad. Dan menjadi tempat pelatihan mereka,” kata Ridlwan seperti dikutip CNN Indonesia.
Namun, karena belum adanya peraturan khusus tentang penangan narapidana terorisme, membuat sipir tidak dapat berbuat banyak dalam mencegah penyebaran radikalisme di penjara. Ada sebagian sipir yang mengeluh, lantaran tidak bisa melarang para narapidana ketika berkumpul dan berdiskusi.
“Nah dari sana keliatan. Bahkan ada juga salah satu dari mereka memegang kendali, saat membeli banyak senjata dari Filipina,” ungkapnya.
Sementara itu, Kadivhumas Polri Irjen Pol Setyo Wastito mengungkapkan, Indonesia menggunakan sistem criminal justice dalam penanganan terorisme. Artinya setiap kasus terorisme harus berakhir di pengadilan.
Jika merajuk pada Negara tetangga Malaysia. Dalam penanganan kasus terorisme, mereka menggunakan model internal act security. Hal tersebut merupakan tindakan yang dilakukan pada setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme bisa dipenjarakan tanpa melalui proses pengadilan.
Namun, dalam pelaksanaan penanganan terorisme di lapangan tidak semudah yang dibayangkan. Polisi terkadang menindak tegas para pelaku terorisme.
“Kalau berhadapan kami tidak tahu, dia pakai senjata apa tidak. Kami ada Standar Operasional,” kata Setyo.
Kendati demikian, Setyo menambahkan, selama ini 90 persen penanganan kasus terorisme tetap mengacu kepada informasi yang diberikan intelijen. Sedangkan sisanya, baru penindakan jika dalam keadaan memaksa.
(Dany)