Oleh : SHO
****
Namun, sepertinya anak itu benar-benar berharap sekali aku mencemaskannya sampai-sampai seorang ketua kelas bernama Juny yang terkenal tidak pernah absen, bisa absen selama lima hari tanpa kabar kecuali surat yang diberikan kak Tyan di hari pertama dia absen.
Hari keenam.
Hari ketujuh.
Hari kedelapan.
Apa jangan-jangan dia sedang diam-diam liburan keluar negri bersama orang tuanya? Nggak mungkin.
Kemana dia pergi?!
Hari kesepuluh.
Hari kesebelas.
Hari keduabelas.
Ok, aku benci digantung dengan ketidakjelasan. Aku harus bertanya pada kak Tyan.
Kenapa dia hanya diam?! Apa semua orang mendadak amnesia dan lupa siapa Juny Dwi?
Hari ketigabelas.
Hari keempatbelas.
Argh, ok, aku mulai frustasi. Anak itu absen dan menghilang selama dua minggu, tidak ada yang mengetahui keberadaannya, bahkan duo kembar itu tak mau menjawab pertanyaanku. Ayolah Juny, kau sedang tak bermain petak umpet dan tersesat bukan? Kenapa kau menggantungiku dengan kata temanmu itu. Hey, Juny! Jawab aku.
“Kau terlihat sangat hancur.” Suara kak Tyan yang familiar ditelingaku terasa sangat menjengkelkan setelah dia tak menjawabku dua hari yang lalu, ditambah dia melemparkan tisu basah kemukaku.
“Kau menggangguku lebih baik kau pergi.”
“Kau benar-benar marah ternyata. Maaf ya, aku Cuma mau memberikan ini. Dia bilang kau bisa membuka lacinya, baru setelah itu dia memberikanku izin untuk bercerita padamu.”
“Ha, kau hanya ingin menebar pesonamu saja. Untuk apa aku menurutinya?”
Kak Tyan tak menjawab, tapi dia menarik pergelangan tanganku menyuruhku untuk mengikutinya menuju koridor loker dibagian depan dan berhenti didepan loker nomor 406, tangan kak Tyan mengambil tanganku dan membuka pintunya dengan tanganku.
Apa yang kau harapkan dari loker cewek(hanya asumsiku)? Tentu saja yang seleranya berbeda jauh dariku. Segala macam kosmetik? Berbagai macam cat kuku? Atau hair dryer? Loker yang kulihat hanya tumpukan kertas, kertas digulung, kertas diremuk, kertas disobek dan segala macam kondisi kertas. Ini benar lokernya Juny? Aku tak percaya.
“Kau bercanda ini lokernya Juny?”
Kak Tyan mengambil satu yang disimpan diposisi paling bawah dan memberikannya padaku. Sebuah potret diriku yang dilukis menggunakan pensil dan sebuah catatan dibelakangnya.
‘Akane, aku telah mendengar banyak tentangmu namun aku baru bisa melihatmu pertama kali sejak pada saat saudaraku berlatih, dirimu yang sibuk menggambar di pojok paling atas bangku penonton pada saat tim inti putra berlatih. Kau ada disana menonton latihan seperti murid perempuan lainnya, tapi kau malah fokus ke pekerjaanmu. Lalu saat kupulang aku juga mencoba menggambar seperti yang kau lakukan, berulang kali kucoba. Tapi apa yang kurasakan? Aku merasa seperti seorang penipu, kenapa? Padahal ibu yang melihatku menggambar berkata bahwa gambarku seperti seorang seniman padahal aku belum pernah menyentuh kegiatan ini sebelumnya, jadi apa masalahnya? Aku menyadari sesuatu yang kosong, yang hanya dirimu yang bisa mengetahuinya. Jadi aku terus memperhatikanmu saat kau sedang menggambar, terus dan terus kulakukan itu, mungkin jika kau mengetahuinya diawal kau membenciku sebagai seorang stalker. Tapi, akhirnya aku menemukan jawabannya. Ya aku memang memiliki obsesi dan mampu dalam menguasi hal apapun, tapi aku rela untuk tidak bisa menguasi dan melupakan tentang urusan menggambar ini. Bakat jika disandingkan dengan pekerja keras jelas bakatlah yang akan kalah, jadi kuputuskan untuk meninggalkan bagian itu untuk temanku dan mencari cara bagaimana agar kau bisa menerimaku menjadi temanmu.’
“Kenapa dengan ini semua? Ini benar-benar Juny? Kau jangan membuatku merinding, ini seperti pesan terakhir.”
Kak Tyan hanya diam dengan pandangan mata yang menerawang lurus kedepan. “Hey Akane, jika kuberi tahu satu hal, jangan mencoba untuk berteriak ya.”
“Maksudmu?”
“Rest in peace; Juny Dwi, 14 November.”
The end