Oleh : SHO
****
“Bun, lagi ngeliatin apaan? Masaknya sampai berhenti”
Bunda melihatku lalu kertas, melihatku lalu kertas terus berulang sampai lima kali. “Ini lho Ruby, ada orang yang ngirim surat, kayaknya temenmu deh soalnya isi kertasnya gambar.”
“Eh, mana?” Bunda mengoper kertas tadi dan kembali sibuk dengan urusan memasaknya.
Apa ini? Kenapa ada gambarku didalamnya. Dua per tiga hitam sisanya putih. Siapa yang membuatnya?
“Bun, aku bawa kekamar ya?”
“Ya ya, bawalah. Makan malamnya sebentar lagi matang, jadi jangan lupa turun.”
“Hm.”
Tidak ada tanda tangan pembuatnya, eh dibaliknya ada tulisan. ‘kau hanya mencoba menutupi kilaumu, kenapa kau tak membiarkan dunia tahu akan betapa cemerlangnya dirimu’(rokugatsu).
Rokugatsu… kalau tidak salah artinya bulan Juni. Juni, eh jangan-jangan dari ketua kelas? Nggak mungkin, tidak ada yang tahu alamat rumahku.
Sudahlah, lupakan. Hari ini hari libur, aku tidak akan bertemu Jun, Juny siapapun itu.
Sret..
Biarlah tanganku menggambar dengan sendirinya.
Sret..sret, dan siapa ini yang kubuat?
Oh, astaga! Racun apa yang diberikan Jun/Juny siapapun itu.
“Ruby! Temanmu datang, bisa kau kemari sebentar?”
Aku terpaku. Teman? Bunda nggak salah ngomong, kan? Beliau tahu sendiri aku tidak punya teman. Teman yang mana? Duh, firasatku buruk.
“Ruby! Kenapa tidak menyahut? Kusuruh dia kekamarmu ya?”
“Eh, eh. Tunggu, tunggu!” saat kubuka pintu, wajah tersenyum si ketua kelas menyambutku dengan sumringah, lalu dia masuk tanpa mendengarkan izin dari pemiliknya. Aku tersenyum(setengah ikhlas) kepada Bunda yang melihatku dari tangga bawah dan menutup pintunya.
Juny sudah tidur-tiduran dikasurku sambil membaca novel.
“Hey, kau tahu masuk kekamar orang lain itu ada aturannya bukan? Dan lagi kenapa kau menggangguku? Sekarang hari libur!”
Dia melihat buku sketsaku yang baru saja kugambari seolah-olah ia tak mendengar apa yang kukatakan tadi. “Wah, sepertinya kau benar-benar sudah menganggapku temanmu ya?”
“Terserahlah. Ok, aku butuh penjelasanmu. Tiga hari kau menggangguku dikelas berambut panjang, tiga hari kau menggangguku digelanggang olahraga berambut pendek. Sebenarnya mana yang asli? Kau bukan pengidap penyakit kepribadian ganda bukan? Atau kau seorang stalker?”
“Percaya deh, kan sudah kubilang. Aku ini temanmu.”
“Aku nggak butuh jawaban itu!”
“Aku serius jawabanku itu.”
“Baiklah, baiklah. Kenapa tidak dengan cara biasa?”
“Orang sepertimu mana ingat orang-orang yang telah berbuat baik padamu? Kau itu tipe orang yang mengingat keburukan orang lain.”
“Entah mengapa aku jadi sangat tertohok, tapi, ya itu benar.”
“Masalah 2 penampilan yang berbeda itu, yang asli adalah yang berambut pendek dan anak-anak perempuan diangkatan tidak ada yang tahu karna aku manager basket tim putra.”
“Kenapa kau memanggil kak Tyan tanpa embel-embel ‘kak’?”
“Dia saudara kembarku yang naik kelas lebih dulu. Tidak miripkan? Makanya aku agak cebol.”
“Kenapa jadi curcol begini?”
“Hahaha, nggak apa-apa. Aku kan temanmu. Aku nginap sehari lho, jadi puas-puaslah bercerita denganku.”
“Kenapa aku harus?”
“Karena aku temanmu.”
“Cih,”
***
“Hey, Akane. Kau pura-pura tidur kan dari tadi? Ibumu dua kali keatas lho.”
“Diamlah, aku berusaha tidur.”
“Berarti kau mendengarku kan?”
Aku malas menjawabnya, jadi kubiarkan si ketua ini berceloteh. Lagipula jarang-jarang ada cahaya yang mau mendatangi bayangan, ya kan? Mana tahu aku bisa membedah kelemahan dia dan membalas semua yang telah ia lakukan sambil membawa pisau mungkin terus bilang ‘aku kan temanmu’ dengan polos sepolos bayi yang baru lahir.
“Aku lihat ya gambar-gambarmu yang berserakan dan yang dilemari dan meja belajar.”
“Terserah asal kau tidak menggangguku.”
“Aku senang kau benar-benar menganggapku teman.”
“Siapa yang bilang setuju?”
“Teman kan nggak perlu persetujuan.”
“Ah, terserahlah. Jangan ganggu aku.”
Aku kembali menaruh bantal menutupi wajahku agar cahaya lampu yang masih hidup tak merusak moodku lebih jauh lagi.
“Wah, ada satu..dua..empat gambar Tyan. Sebenarnya kau suka bocah itu, kan? Ah, ternyata gambarku juga lumayan banyak, padahal kita baru bertemu tiga hari, lho. Hm, kau melihatku seperti ini ya? Oh, ada gambar Siberian Husky miliknya pak kepsek ya? Aduh, lucunya. Ini gambar teman-teman sekelas. Hehe, sepertinya hampir keseluruhan gambarnya berwarna ‘merah’, kau punya tanda-tanda psychopath ya? Tidak mungkin, kau bukan orang yang suka narsis.
Hey Akane, aku tahu kau pasti orang yang baik. Kenapa aku berasumsi seperti itu? Tandanya adalah kau masih bisa meresponku. Jika kau orang tidak baik, kau tidak akan pernah meresponku beberapa hari terakhir ini. Tandanya, sebenarnya kau ini orang yang selalu bisa membuka pagar rumahnya.”
“Kau ngeyel.”
“Haha, aku serius lho. Kau tahu sendiri ketua kelas itu harus serius. Oh iya, aku mau cerita tentang saudara kembarku. Kami triplet, yang pertama lahir adalah Tyan, yang kedua adalah July dan mereka berdua naik kelas lebih cepat, curang sekali mereka bukan? Karena dua saudaraku ada ditim basket, mereka menyuruhku untuk menjadi manager tim mereka dan seterusnya. Waktuku kuhabiskan disekolah ini karna aku tak suka berlama-lama dirumah. Bisa kau bayangkan 23 jam orangtuamu bekerja dan rumah tidak ada yang menghuni? Lebih baik aku disini mengerjakan sesuatu dan pulang bersama saudaraku. Tidak ada sesuatu yang lain lebih berharga selain mereka berdua.”
“Kau baru saja memberi tahu orang lain tentang titik kelemahanmu, lho.”
“Bodo amat, aku nggak peduli. Kau kan temanku.”
Sekarang telingaku mulai terasa gatal mendengar kalimat itu lagi dan lagi keluar dari mulutnya. Apakah dia tahu konsekuensi dari maknanya itu sangat berat? Dia nggak tahu apa hal itu bisa saja mencelakakannya? Aku temanmu, aku temanmu. Ngaco banget, deh.
“Hey Akane, sebenarnya aku nggak pernah kepoin orang sampe kayak ini, lho. Aku mendapat sinyal kau pasti akan jadi teman yang baik. Kau pasti berpikir kenapa tidak kusebut saja sahabat sekalian? Karna menurutku itu sangat berat, lebih berat dari label teman sendiri. Tapi ya, jika kau mengizinkan aku mau-mau saja menjadi sahabatmu. Gimana? Kau tahu arti diamkan? Terserahlah, kulanjutkan ceritaku saja ya? Hm, apalagi yang mau kuceritakan..”
Aku terus mendengarnya meskipun tak ada dari cerita itu yang kurespon, terus seperti itu hingga suaranya mengecil dan semakin mengecil yang menandakan dia sudah dialam mimpinya.
Ini benar-benar menggangguku sekarang, keseriusan Juny benar-benar menggangguku hingga aku tak menyadari esok paginya sosok Juny yang tertidur sudah tak ada lagi, kata Bunda ada saudaranya yang menjemput pukul 5 tadi. Jadi untuk sekarang pikiranku selamat dari mencemaskan anak itu.
Bersambung !!! (Minggu, 23 Juli 2017)
Cerita Sebelumnya : Tak Berbanding