Tokoh

Syeikh Ahmad Chatib (1860-1916)Imam dan Khatib Masjidil Haram, Pelopor Pembaruan Islam di Nusantara ( II)

Oleh: Efri Yoni Baikoeni

Selain dikenal sebagai tokoh pembaharu di dunia Islam, Syeikh Ahmad Chatib juga mendapat tempat terhormat di kalangan ulama-ulama di Tanah Suci. Penguasa Makkah mengangkatnya sebagai imam dan khatib di Masjidil Haram. Tentu saja jabatan terhormat ini menjadi kebanggaan tidak saja bagi orang Minangkabau, melainkan juga Indonesia.

Tidak banyak orang Indonesia bahkan Melayu yang mendapat kepercayaan sebagai guru di Masjidil Haram. Diantara yang sedikit itu adalah Syeikh Junaid Al Batawi, Imam Nawawi Al Bantani, dan Syeikh Ahmad Chatib Al Minangkabawi.

Syeikh Ahmad Chatib Al Minangkabawi meninggal dunia tanggal 13 Maret 1916 di Makkah dan dimakamkan di sana. Hingga wafatnya dalam usia 56 tahun, dia masih menjabat sebagai guru di Masjidil Haram.

Efri Yoni Baikoeni

Asal Usul Keluarga

Ahmad Chatib dilahirkan di Koto Tuo, Ampek Angkek tanggal 6 Mei 1860. Ayahnya bernama Abdullatif gelar Khatib Nagari yang berasal dari Koto Gadang. Abdullatif ini merupakan saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto yang menjabat sebagai Tuanku Lareh di Koto Gadang.

Ibunya bernama Limbak Urai yang berasal dari Koto Tuo, Ampek Angkek. Limbak Urai bersaudara tiga orang dengan susunan: 1) Gandam Urai – kemudian menjadi ibu dari Syeikh Taher Jalaluddin, 2) Muhammad Saleh Datuk Bagindo – pernah menjadi Tuanku Lareh Ampek Angkek, 3) Limbak Urai – kemudian menjadi ibu dari Ahmad Chatib, dan 4) Haji Ibrahim.

Ayah Limbak Urai adalah Tuanku Nan Rancak, seorang ulama terkemuka pada zaman Paderi. Ibu Limbak Urai bernama Siti Zainab, puteri dari Tuanku Bagindo Khatib, Pembantu Regent (setingkat Bupati) Agam. Dengan demikian, Ahmad Chatib lahir dari keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang sangat kuat.
Dari segi ekonomi, Ahmad Chatib adalah keturunan orang kaya. Ayah dan pamannya Datuk Rangkayu Mangkuto terkenal sebagai orang kaya dan bangsawan di Koto Gadang. Sebagai keluarga bangsawan dengan latar pendidikan agama yang kuat pula, keluarga ayah Ahmad Chatib tidak menutup diri terhadap pendidikan umum yang saat itu dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda.

Menuntut Ilmu ke Makkah

Setelah menimba ilmu di Sekolah Guru “Kweekschool” di Bukittinggi, dalam usia 11 tahun, Ahmad Chatib dibawa oleh paman dari pihak ayah bernama Abdul Ghani yang berasal dari Koto Gadang. Keduanya meninggalkan tanah air tahun 1871 dengan menggunakan kapal laut denga rute: Bukittinggi-Betawi-Singapura-Aden-Suez-Makkah.

Setelah menempuh perjalanan selama 5 bulan, mereka sampai di Makkah. Di kota suci itu, Ahmad Chatib berguru kepada Said Umar Syatha. Setelah berguru sekitar 4 tahun, Ahmad Chatib kembali ke tanah air tahun 1876.

Tidak beberapa lama kemudian, pada saat Said Umar Syatha mengunjungi Indonesia tahun 1878, Ahmad Chatib kembali diajak ke Makkah untuk menuntut ilmu. Sang guru melihat pada diri Ahmad Chatib tersimpan semangat yang kuat dalam ilmu pengetahuan.
Pendidikan di Makkah

Di Makkah, Ahmad Chatib tidak hanya menunaikan ibadah haji, namun juga mempelajari ilmu agama secara mendalam. Sebagai alat dia mempelajari bahasa Arab dengan segala unsurnya, seperti ilmu nahu dan saraf, mata pelajaran dasar dalam bahasa Arab. Di samping itu, dia mempelajari pula ilmu-ilmu umum seperti ilmu falak, ilmu hisab, dan aljabar.

Masa belajarnya berlangsung dari tahun 1871 hingga 1876 yaitu saat bermukim di Makkah pertama kali. Ini masa belajar penuh tanpa gangguan. Diantara guru-gurunya di Makkah adalah: Sayyid Zayn Al-Dakhlan, Syeikh Bakr al-Syatta, dan Syeikh Yahya al-Qabli. Di kalangan guru-gurunya, Ahmad Chatib dikenal sebagai murid yang cerdas dan dikagumi oleh guru-gurunya.

Kekaguman terhadap kepribadian Ahmad Chatib juga muncul di kalangan pengusaha. Sebut diantaranya Syeikh Shalih Al Qurdi. Toko bukunya di Bab al Salam sering dikunjungi Ahmad Chatib untuk mencari dan membeli buku-buku yang diperlukan. Kemudian pengusaha yang dekat dengan penguasa kota Makkah itupun mendapat informasi yang baik pula dari gurunya Sayyid Zayn Al-Dakhlan.

Rasa kagum itu kemudian menimbulkan keinginan untuk menikahkan Ahmad Chatib dengan anaknya bernama Khadijah. Bahkan diapun menyediakan semua keperluan bagi mewujudkan rencana tersebut seperti biaya perkawinan dan mahar.

Tawaran Syeikh Shalih Al Qurdi itu tidak ditampik Ahmad Chatib, sehingga pernikahan itu terwujud tahun 1879. Sejak itu pula, Ahmad Chatib mulai mengajar di rumahnya. Mula-mula, muridnya berasal dari kalangan terbatas seperti famili. Termasuk diantara murid-murid yang belajar kepadanya ketika masih di rumah adalah Taher Djalaluddin-saudara sepupunya.

Ahmad Chatib dikenal sebagai sosok pemberani dan memiliki spontanitas yang cukup tinggi demi menegakkan kebenaran. Sifat ini sudah terlihat sejak masa mudanya.

Seperti diceritakan Hamka dalam “Ayahku” bahwa Ahmad Chatib pernah menghadiri jamuan berbuka puasa bersama mertuanya di Istana Syarif. Pada waktu shalat Maghrib, Syarif Makkah menjadi imam.

To Top