Catatan 12

Sibuk Berdebat, Lupa Berbuat

Oleh : Rahman

Tradisi minum pagi, ‘dipalanta lapau’ sudah menjadi tradisi ‘wajib’ dalam keseharian sebagian masyarakat kita. Media ‘lapau’ ini terkadang menjadi ajang silaturrahim terutama pada saat liburan, pasca nyaris 24 jam kesibukan dalam interval Senin – Jum’at bagi yang bekerja dijajaran struktural pemerintahan. Dan pada momen-momen tertentu, lapau bisa disulap bak ‘ILC (Indonesia Lawyer Club)’-nya Uda Karni Ilyas pada salah stasiun TV Swasta nasional, yang sangat favorit bagi sebagian kalangan masyarakat, terutama yang hobi dan berkecimpung dibidang ‘politik’, baik dalam skala internasional, regional, nasional, daerah, hingga aktivitas politik skala desa dan nagari.

Dan ada sisi positif dan negatif dari diskusi di ‘palanta lapau’, jika boleh meminjam suatu istilah bak ‘Palanta Lapau Club’ (PLC)_ (biar ada kesan ‘akademisnya’), yang terkadang bisa berlangsung setiap pagi (menjelang beraktivitas), dan malam hari (menjelang istirahat tidur).

Media bagurau ini tak jarang terkadang dapat mencairkan suasana ‘ketegangan politik’ dan kebuntuan solusi dalam berbagai keadaan yang terjadi dilingkungan masyatakat.

Setiap orang memberi pandangan dan masukan dengan durasi waktu yang tak terbatas seperti halnya pada kegiatan formal (seminar/lokakarya dan sejenisnya), mencari solusi. Itulah gambaran positif-nya disikusi di ‘PLC’ ini.

Namun pada sisi yang lain, cukup banyak palanta lapau hanya sekedar untuk ‘bagurau samo gadang’ ,sambil minum teh dan sejenisnya, tidak mencari solusi apa-apa, hanya jadi ajang kritik, mencari titik lemah pihak-pihak yang dianggap berseberangan, melampiaskan ‘suara kepentingan’ karena berbagai sebab.

Mengkritisi aturan, karena tak mampu ditembus untuk ‘malaluan’ gengsi dan kepentingan. Bahkan ada yang bersitegang urat leher, ternyata yang dibedahnya hanya seputaran isu-isu atau regulasi yang sudah ‘kadaluarsa’ dan tak pernah ada solusi.

Isu A, isu B, kejadian C dan kondisi lainnya, diperbincangkan bak ‘bagurau di palanta lapau’, sesukanya, bahkan jauh menyimpang dari esensi persoalannya.

Beragam situasi sosial ditengah-tengah masyarakat (nagari) semestinya disikapi dengan ber-positing thinking’.

Terkadang, dan banyak contoh dalam keseharian di masyarakat, yang dikritisi secara negatif dengan ‘bersitegang urat leher’ justru orang-orang yang banyak berbuat dan memiliki konsep berpikir positif untuk kemajuan masyarakat dan daerahnya, meskipun terkadang belum ‘ideal’ menurut kaidah ‘akademis’ dan beberapa indikator lainnya.

Dan lebih miris lagi, kelompok yang selalu hobi ‘mencikaraui’, merasa paling berkompeten, paling berhak, merasa paling tinggi gezah-nya, hanya lantang bersuara, tapi kosong dalam gagasan, jangankan berbuat nyata untuk masyarakat, untuk dirinya pun tak mampu berbenah.

Struktur lingkungan sosial yang rusak, anak-anak muda yang telah kehilangan identitas sebagai anak bangsa, anak nagari, dan sebagai masyarakat dalam lingkaran ‘Adat basandi syarak, sarak basandi Kitabullah’, yang tidak lagi berpatron kepada ‘akhlaqul karimah’ justru tidak pernah dipikirkan, tidak pernah menjadi agenda pembahasan.

Bahkan, sangat langka saat ini, orang-orang yang mengaku tokoh A dan tokoh B, berani tampil memperbaiki rusaknya moralitas anak nagari, anak kemenakan, surau-surau sepi pengunjung, narkoba merajalela, kemaksiatan, miras dan judi seolah sudah jadi tradisi, tauran, dan lain sebagainya.

Inilah potret kita saat ini, banyak yang waktu-waktunya sibuk berdebat, tapi tak mampu berbuat!

Bak istilah orang-orang tua dahulu ‘tungau disubarang lautan kelihatan, justru gajah dipelupuk mata tak tampak’.

Berbuat untuk kebaikan dan kemajuan, walau pun hanya terhadap hal-hal yang sederhana, itu jauh labih baik ketimbang berdebat yang tak ada ujungnya.

To Top