Tulisan : Romi P Sasmita, pengamat ekonomi S3 UI
Romi Defrial, anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak tertuanya perempuan, uni Desi namanya. Kakak laki-lakinya bernama Anto. Dan di antara ketiganya, Romi adalah anak yang paling kurus, mirip papanya, sekaligus anak yang paling berprestasi secara akademis karena Romi sering maraih gelar jaura kelas, atau setidaknya selalu masuk tiga besar di tiap jenjang kelas yang dia masuki.
Rumahnya berkisar 100 meter lebih sedikit dari rumah saya. Untuk ukuran kampung kami, keluarga Romi adalah salah satu keluarga terkaya. Jadi tak heran, fasilitas yang dimiliki di atas rata-rata orang kampung lainya. Sampai kelas dua SMA, kami tidak terlalu dekat. Tapi solidaritas sesama kawan se desa tentu tetap dia perlihatkan.
Saya masih ingat saat masih SMP. Beliau termasuk salah satu siswa yang memakai sepeda federal ke sekolah dan saya ketika itu hanya berjalan kaki saja. Nah saat pulang sekolah, beliau rela mengayuh sepeda lambat-lambat agar tetap bisa mengiringi langkah kaki saya. Alias, sekalipun bersepeda, beliau tetap memilih pulang bersama saya sambil ngobrol ini dan itu.
Dalam jenjang pendidikan, saya dan romi satu sekolah saat masuk SMP. Sementara saat sekolah dasar, kami memilih SD yang berbeda. Saya menyelesaikan sekolah dasar di sekolah mudiak (SD 61, dulu disebut SD inpres), sekolah dasar yang kurang tenar, sementara Romi di SD hilir, dulu disebut SD 1 Balai Satu. Jadi kami berkawan secukupnya saja, karena berdekatan rumah.
Waktu masih sekolah dasar, kami tak banyak bermain bersama. Saya terhitung sebagai anak yang cukup nakal, suka malala, malatah dari satu banda ka banda, setidaknya begitu papa saya menggambarkan. Sementara Romi masuk kategori anak mama dan anak rumahan. Karena fasilitas yang terbilang cukup lengkap di rumahnya, beliau lebih sering berada dalam rumah. Bahkan waktu musim awal datangnya parabola, saya justru sering ikut nonton di rumahnya, di balik kaca nako alias menonton dari luar rumah.
Pada tataran pergaulan, saya berada di kuadran anak-anak kelas menengah ke bawah, krasak-krusuk, slengek’an, dan sering kali dikategorikan anak nakal. Saya harus menanggung julukan yang lebih karena anak guru. Biasanya anak guru, kalau nakal, jatah sentilannya lebih sakit. “Anak guru kok nakal and bla3x”.
Selepas SD, kami sama-sama memasuki SMP yang sama, SMP Manggopoh. Seperti kata saya tadi kami tak terlalu dekat, tapi tetap berkawan. Berangkat sekolah terkadang bareng, pulangpun demikian, tapi terkadang saja. Di sekolah, pergaulan Romi lebih elit ketimbang saya. Beliau bergaul dengan raja-raja sekolah, mulai dari orang-orang yang disegani, sampai pada siswa-siswa kelas atas. Sementara saya, sudah bisa diduga, hanya bergaul dengan kawan-kawan selevel dengan saya. Intinya, kami ada di kuadran pergaulan yang berbeda.
Setamat SMP, kami pun memasuki SMA yang sama, yakni SMA Negeri 2 Lubuk basung. Pada awalnya, sepanjang kelas satu, kami tak terlalu dekat. Jarang saling berbicara banyak, hanya say hai jika saya kebetulan satu angkutan dengan beliau. Oh ya, saat SMA, karena keluarga Romi memiliki faktor produksi bernama Angkot, maka beliau biasanya nimbrung pergi ke sekolah bersama angkotnya. Jika saya tak ketinggalan jadwal, saya pun bersama angkot tersebut menuju SMA N 2 Lubuk Basung.
Pada kelas dua SMA lah kami didekatkan. Saya lupa seperti apa awal ceritanya. Tapi di kelas dua lah kami mengukir cerita bersama. Kami mulai sangat dekat, kemana-kemana bersama. Sering juga bertiga dengan Hendra Putra Busma. Kawan satu kopi dan satu frame kenakalan.
Saat itulah, saya dan Romi bisa sebatang rokok berdua, segelas kopi berdua, dan berbagi uang saku. Kami sebatang rokok berdua ketika kocek mulai sempit. Mengapa? Karena merek rokok kami berbeda. Jadi kalau saku sedang dalam, kami menghisap rokok sesuai selera. Romi menghisap Gudang Garam Surya, sementara saya mencumbui batang rokok Gudang Garam Filter.