Oleh: Rahman Buya
Rezeki merupakan bagian tak perpisahkan dari kelengkapan hidup yang Allah karuniakan kepada semua makhluk hidup, termasuk manusia. Tidak ada manusia yang telah terlahir ke alam fana ini yang tidak tercatat rezekinya, dalam kuantitas yang tentunya berbeda satu dengan yang lain tergantung usaha dan kadar yang Allah Ta’ala tetapkan.
Perlu dipahami bahwa rezeki bukanlah hasil semata dari usaha dan kerja keras, tetapi pemahaman bahwa bekerja itu menjadi bagian penting dari syariat setiap jiwa yang hidup, dan Allah Ta’ala Yang Maha Kaya menentukan kadarnya. Namum banyak orang memimiliki pemahaman secara parsial, dan memaknai bahwa rezeki hanyalah semata berbentuk uang atau materi. Begitulah konsep umum yang direduksi oleh akal pikiran sebagian orang.
Ketika Allah berikan kesehatan yang baik, mata yang masih dapat melihat dengan jernih, telinga yang masih peka mendengar setiap suara yang melewatinya, lidah yang masih oke berkolaborasi dengan sejumlah gigi dan enzim yang terdapat dalam rongga mulut saat memproses awal makanan dimulut, gas oksigen (O2) natural yang masih bisa dihidup saat waktu subuh melalui rongga hidung, tutur kata yang baik dengan suara (vokal) yang sempurna, kaki yang dilangkahkan masih utuh dengan gerak tubuh yang berayun seirama dengan gerak tangan dalam suatu kesimbangan yang sempurna, dan lain-lainnya, seakan semua itu dimaknai bukan sebuah rezeki. Bahkan hanya dianggap sesuatu yang biasa dan wajar. Bukan kah itu juga sebuah anugerah (rezeki) yang tak ternilai? Sehingga lahirkan pemaknaan yang sangat sempit, bahwa jika seseorang diuji Allah Ta’ala dengan kekurangan materi berupa uang dan benda, dikatakan bahwa rezekinnya lagi macet.
Para ulama memberikan pemahaman bahwa rezeki merupakan segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan (dipakai, dimakan, atau dinikmati) oleh setiap manusia, dapat berupa uang, kesehatan, ketenangan hidup, ilmu pengetahuan yang dimiliki, rumah temapat tinggal, keluarga, dan segala sesuatu yang dirasa dan membawa manfaat dalam kehidupannya.
Dalam Kitab Tafsir Jalalain diungkapkan bahwa rezeki adalah segala pemberian Allah SWT dan kita (makhluk-Nya) memanfaatkannya untuk kepentingan kehidupan kita. Muncul pertanyaan, apa upaya yang harus dilakukan untuk mendapatkannya? Apakah Allah Ta’ala mendatangkannya secara tiba-tiba? Tanpa ada usaha yang sungguh-sungguh? Banyak ayat yang termaktub dalam Al-Qur’anul Karim, yang berbicara terkait hal ini, diantaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Dan tidak ada suatu hewan melatapun dibumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (QS. Hud: 6)
Namun rezeki harus dijemput dengan usaha dan kerja keras, selain usaha yang bersifat fisik, dalam Islam dijelaskan metode menjemput rezeki dangan cara menggabungkan usaha fisik dan usaha spiritual (doa). Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an berbunyi, “Barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (solusi)(2). Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkannya. Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya)” (QS. Ath-Thalaq : 3).
Adapun asbabun nuzul ayat 3 ini: Ibnu Abbas meriwayatkan, suatu ketika Auf bin Malik menghadap Rasulullah dan berkata,”Anakku ditawan musuh, dan ibunya sangat sedih. Apa yang harus aku lakukan, ya Rasulullah?” Rasul bersabda,”Kamu dan isterimu memperbanyak ucapan ‘hauqalah’ yaitu ‘Laa haula wa laa quwwata illaa billaah’. Isteri Auf berkata,”Alangkah baiknya perintah Rasul itu. ”Lalu mereka memperbanyak bacaan itu. Tanpa diduga, suatu hari musuh yang menawan anak mereka itu lengah. Si anak berhasil melarikan diri dan pulang sambil membawa beberapa ekor kambing milik musuh tadi. Atas hal itu, turunlah ayat ini.
Jadi secara umum “taqwa” dan “tawakkal” merupakan salah satu metode membuka “pintu rezeki” dan kemudahan, sebaliknya kemungkaran dan maksiat adalah salah satu sebab terhalangnya rezeki.
Tawakkal adalah sebuah ketaatan kepada Allah dengan menjalankan sebab. Oleh karena itu, seseorang tidaklah berharap untuk memperoleh sesuatu kecuali menjalankan sebabnya. Adapun tercapai atau tidaknya dia serahkan kepada Allah SWT sambil berharap semoga yang dicita-citakannya tercapai, karena hanya Dia-lah yang mempu mendatangkan hasilnya dengan kadar yang tertentu. Betapa banyak orang yang menjalankan sebab, namun ternyata tidak memperoleh hasil apa-apa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tuhanmu berfirman,”Wahai anak Adam! Sempatkanlah beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan memenuhi tanganmu dengan rezeki. Wahai anak Adam! Janganlah menjauh dari-Ku. Jika demikian, Aku akan memenuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku akan memenuhi tanganmu dengan kesibukkan.” (HR. Hakim, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib).
Dalam hadist lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,”Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka sambunglah tali silaturrahim” (HR. Bukhari).
Jadi memanfaatkan waktu yang Allah Ta’ala berikan untuk beribadah penuh kekhusyuk’an, menyambung tali silaturrahim, meningkatkan nilai ketaqwaan dan bertawakkal kepada-Nya merupakan media yang Allah sediakan bagi terbukanya “pintu rezeki” terhadap hamba-Nya.
(dari berbagai sumber)

Warning: Attempt to read property "term_id" on bool in /home/k7946951/public_html/wp-content/themes/flex-mag/functions.php on line 999