Oleh: Rahman
Masih terasa hingga saat ini, ‘panasnya suhu politik’ di 269 daerah dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kota pada saat berlangsungnya pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015. Dan saat ini tahun 2017, pilkada serentak gelombang kedua secara nasional yang diselenggarakan pada 101 (provinsi, kabupaten, dan kota) masih menunggu penetapan KPUD masing-masing daerah dan bahkan ada yang berlangsung dua putaran, karena tidak memenuhi jumlah kuota suara yang dipersyaratkan undang-undang, khususnya bagi daerah yang pasangan calonnya lebih dari dua.
Untuk pilkada seretak gelombang pertama, pemimpin daerah pilihan mayoritas masyarakat telah menduduki kursi kepemimpinan, dan sudah bekerja menunaikan amanah masyarakat yang dikemas dalam visi misi yang ditawarkan pada masyarakat saat kontenstasi pilkada berlangsung.
Pertarungan merebut simpati masyarakat berlangsung sangat ketat, suhu politik ‘panas dingin’ dirasakan, mulai dari ‘elit desa, kelurahan, nagari’ hingga tingkat nasional mewarnai kegiatan pilkada serentak tersebut. Bahkan ada beberapa ‘pejabat daerah yang terseret’ dalam ‘pusaran pertarungan’ itu karena godaan akan jabatan yang menggiurkan dari para elit partai pendukung paslon dan tim sukses, ada yang ‘melarikan diri’ kedaerah lain, ketika kandidat yang ‘ditolongnya’ tersingkir
Sementara yang masih bertahan dan tak sempat ‘hijrah’ karena juga tak punya koneksi dan relasi di daerah lain, terpaksa menerima takdir dan pasrah, dimanapun posisi/jabatan yang ditempatkan. Itulah resiko politik yang dialami sebagai dampak dari ‘ketidaknetralan’ atau karena ‘kompetensi diri membaca suasana politik’ yang rendah. Gelombang mutasi, bisa saja masa yang dinanti oleh pejabat yang berprestasi dan tidak memihak saat pesta demokrasi berlangsung. Tetapi bagi pejabat yang terlanjur ‘bermain api’ karena harapan dan janji yang menggiurkan (dari timses dan paslon yang kalah), mutasi jabatan merupakan masa-masa yang ‘menyesakkan dada’.
Mulai dari turunnya kepercayaan pimpinan, (karena dipandang ‘mengkhianati’) hingga di non-jobkan adalah suasana yang mungkin dirasakan oleh semua pejabat yang ‘jagoannya’ tak dapat amanah masyarakat, dimanapun suasana pilkada itu berlangsung. Memang netralitas dan ‘kecerdikan membaca peta politik’ adalah hal yang teramat penting, kalau ‘nekad juga bermain’ dalam kontestasi politik. Dan harus dijadikan pelajaran yang berharga untuk masa yang akan datang. Karena setiap periode lima tahunan, hal yang sama juga akan terjadi.
Namun demikian, semangat kerja, dedikasi akan tugas dan loyalitas terhadap pimpinan dalam konteks membangun daerah tentu tidak boleh luntur, hanya disebabkan tidak menduduki ‘pos’ yang diharapkan. Justru prilaku seperti itu semakin menciderai amanah dan kepercayaan masyarakat. Bekerja akan bernilai pahala jika dilaksanakan dengan niat yang ikhlas, dan sesui dengan konteks pekerjaan itu sendiri, tanpa memandang dimanapun posisi yang ditempati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. At-Taubah (9): 105).