Kaba Terkini

Miliki Kekayaan di Hati

Oleh: RAHMAN BUYA

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidaklah disebut kaya itu apa yang nampak (harta dll) sesungguhnya kaya itu adalah kaya hati, jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, Dia jadikan kekayaan dalam hatinya, dan ketaqwaan dalam hatinya. Dan  jika Allah menghendaki kejelekan pada seseorang, Dia jadikan kefakirannya di antara kedua matanya”. [Hadist Shahih Ibnu Hibban] 

KekayaanIMG-20170126-WA0047 hakiki sejatinya tidak bisa dikukur dengan seberapa banyak sesorang memiliki harta baik berupa uang, properti mewah, perkebunan yang luas, tingginya jabatan publik yang disandang dalam pemerintahan, relasi bisnis yang banyak dan lain-lain. Tidak sedikit orang-orang yang stres, putus asa, terlibat tindak kejahatan korupsi, manipulasi, pungli, terpuruk dalam jaringan obat-obat terlarang, bisnis prostitusi dan bahkan ada yang sampai bunuh diri, tetapi jika kita telusuri ternyata banyak diantaranya  yang serba berkecukupan secara materi, tetapi hatinya diliputi ‘kefakiran’.

Dalam memaknai kebahagian ini, Imam Ibnu Taimiyah pernah mengungkapkan : “Apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku terhadapku? Surgaku dan tamanku ada dihatiku ….bila aku berjalan maka ia bersamaku dan tidak pernah berpisah dariku…. Penjaraku adalah kesendirianku (dengan Rabb-ku)”….

Cukup banyak kita lihat justru para pemilik harta senantiasa  dalam kegelisahan dan ‘sengsara’ mengelola hartanya. Siang malam tanpa kenal waktu, terus menumpuk kekayaan, namun sangat kikir dan takut bersedekah, karena merasa harta yang disedekahkan akan beresiko membawanya ke arah kemiskinan. Motivasi ‘takut miskin’ ini, akan selalu merongrong hatinya untuk makin kikir dan enggan mengalirkan sebagian rezkinya itu untuk kemaslahatan umat.

Dalam suatu riwayat  Rasulullah pernah bertanya kepada Abu Dzar ra, “Wahai Abu Dzar, apakah banyaknya harta adalah kekayaan?” Aku menjawab, Ya, benar, wahai Rasulullah”. Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu menganggap sedikitnya harta adalah kemiskinan?” Aku menjawab, “Benar, ya Rasulullah”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya kekayaan itu adalah kekayaan hati dan kemiskinan itu adalah kemiskinan hati”. [HR. An-Nasa’I, Ibnu Hibban, Thabari].

Jika ‘kemiskinan’ hati telah menyandera  suatu jiwa, maka yang punya jiwa akan menutupi rasa fakir itu bebagai cara, tanpa mengindahkan kaidah-kaidah syar’i yang ditentukan. Jiwanya selalu lapar dan dahaga, terus memburu ‘duniawi’ saban waktu. Metode ‘ziz-zag’ yang dapat membentur segala sisi  kehidupan akan menjadi santapannya. Sementara mereka lalai dan meninggalkan amala-amalan shahih dan amalan kebaikan lainnya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia serta hiasannya (kelezatan-kelezatannya), maka Kami (Allah) penuhi kepadanya amalan-amalannya itu di dunia dan mereka tidaklah dirugikan. Mereka itu di akhirat tidak akan memperoleh selain api neraka. Disitu tidak akan bergunalah apa-apa yang telah mereka usahakan dan terbuang sia-sialah apa-apa yang mereka kerjakan”. [QS. Hud (11): 15-16]. Menurut Tafsir dari Kitab Almunir,karya Imam Nawawi Al Batany, dijelaskan asbabun nuzul ayat ini: Mujahid dan Anas bin Malik mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan kaum Yahudi dan Nasarani yang selalu melakukan perbuatan yang didasari keduniawian saja. Demikian juga dengan orang-orang muslim yang riya.

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memulai mengadakan suatu amalan kebaikan, kemudian melakukannya, maka baginya adalah pahala dari amalannya tadi serta pahala dari seluruh orang yang mengikutinya”. [HR. Muslim]

Suatu ketika Imam Syafi’I mengatakan,”Bila anda memiliki hati yang serba puas, maka anda sejajar dengan pemilik semua isi dunia”. Dalam kitab Mau’idhatul Mu’minin, Iman Algazali menyatakan, bahwa menginginkan kehidupan dunia itu terkandung pula didalamnya keinginan kemasyhuran, kepangkatan dan ketinggian kedudukan, sebab semuanya ini memang merupakan salah satu kelezatan dari berbagai kelezatan-kelezatan dunia yang teristimewa.

Para sahabat Rasulullah adalah orang-orang yang senantiasa mengasah jiwanya dan menjadi teladan karena memiliki kekayaan hati yang luas. Harta benda dan kekayaan yang dimiliki dijadikan media untuk membanguan hidupnya dakwah dan tegaknya perjuangan Islam saat itu.

Rasulullah SAW bersabda,”Tidak mengapa kekayaan itu bagi orang  bertaqwa dan kesehatan bagi orang yang bertaqwa lebih baik dari kekayaan, sedangkan kenyamanan, dan kekayaan jiwa termasuk dalam kenikmatan.” [HR. Ibnu Majah]

Ketika kita istiqamah dalam memegang ajaran agama Islam yang mulia ini, maka kita akan merasakan kemanan dan kenyamanan yang luar biasa. Rasa tentram dan nyaman dalam hidup dapat dirasakan dalam hati, jika kita mensyukuri setiap anugerah Allah Ta’ala, meskipun secara materil kita terkadang tidak berkecukupan dan jauh dari kesenangan duniawi.

Dalam hadist lain  Rasulullah SAW bersabda, ”Puaslah dengan apa yang diberikan Allah kepadamu pasti kamu menjadi orang yang paling kaya.” [HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi).

Inilah kebahagiaan yang diinginkan oleh Diinul Haq (Islam) dalam menapaki jalan kehidupan, bahagia dengan nilai-nilai keimanan, bahagia saat melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT dan bahagia dalam naungan Islam.

(dari berbagai sumber).

To Top