Oleh: Rahman Buya
“Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil ….(QS. An-Nisa’[4]: 58).
Hukum yang adil dan obyektif akan mampu membangun tatanan masyarakat yang taat hukum. Namun jika hukum berjalan dalam ketidakseimbangan, ‘tajam ketika diasah’, dan tumpul jika dibiarkan dalam alur normalnya, maka terjadilah ketidakadilan dan kezaliman. Dalam istilah yang lazim kita dengar dikatakan ‘tajam kebawah, tetapi tumpul keatas’.
‘Tajam ketika diasah’ dalam artian jika ada kepentingan tertentu, memandang strata sosial, uang, kedudukan, koneksi dan lain-lain, maka dengan serta merta ‘hukum berpihak’. Jika praktek ini terjadi, maka yang lemah akan terzalimi (dihukum maksimal), sementara yang dapat ‘mengasah mata pisau’ (punya koneksi, berkedudukan tinggi, dekat dengan penguasa, bisa bermain mata), maka baginya hukum bisa ‘diatur’ menurut kadar kemauannya. Bentuk-bentuk seperti itulah, yang menyebabkan ‘kegaduhan dan huru-hara sosial’ dalam masyarakat. Satu mata rantai kehidupan, yakni ‘rasa keadilan’ mulai tercabut dari akarnya. Kepercayaan kepada penguasa, aparat penegak hukum dan seluruh elemennya mulai memudar. Padahal Allah SWT sangat mencintai orang-orang yang berlaku adil, terutama kepada para pemimpin yang adil, sebagaimana firman-Nya, “Dan berbuat adillah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.” (QS. Al-Hujurat[49]: 9). Pada ayat berikut Allah SWT juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu….(QS. An-Nisa’ [4]: 135).
Akibatnya, yang merasa terzalimi haknya berusaha mencari ‘hilangnya keseimbangan’ dalam keadilan, dan menempuh cara-cara tertentu yang menurut naluriahnya tepat, yang memuaskan dahaganya. Tidak kekerasan (anarkisme), gerakan-gerakan ‘radikal’ dengan berbagai latar belakangnya, premanisme dan sebagainya kerap menjadi alasan mereka. Dampak turunan dari ‘terusiknya rasa keadilan’ dalam masyarakat ini, memunculkan ketidakharmonisan dengan berbagai skala, baik skala kecil maupun pada level yang lebih tinggi, cheos sosial akan terbangun, malapetaka muncul dimana-mana, dan kezaliman pun merajalela. Bahkan tidak jarang, dalam ‘kesemberautan hukum’ itu, pihak-pihak lainpun ikut memamanfaatkan dan menikmatinya untuk kepentingan tertentu, memancing diair keruh demi kelompok atau golongannya.
Para pemegang kekuasaan terlihat mulai ‘keteter’ menghadapi situasi ‘ketidakharmonisan’ yang hampir melanda berbagai pelosok negeri dengan eskalasi yang beragam. Situasi sulit mulai terasa diseantero negeri ini. Harga bahan pokok mulai makin sulit dikendalikan, lapangan pekerjaan semakin sempit, tidak linear dengan jumlah tenaga kerja yang ada, dan penduduk miskin terus bertambah. Angka pengangguran terus melaju, karena lapangan kerja yang tersedia tidak mampu mereduksinya. Tenaga kerja asing (selalu didengung-dengungkan berbagai pihak), terus merengsek menempus dunia kerja (yang semestinya juga bisa dilakukan oleh putra putri bangsa ini).
Semakin gaduh, ‘Hoax’ pun ikut bermain, menciptakan kegaduhan baru melalui berbagai media sosial (medsos) yang meleset bagaikan cahaya, cepat nyaris tak terpantau, menembus setiap sudut dan ruang waktu yang menebar informasi yang sulit diukur akurasi dan validitasnya. Dan anehnya banyak yang percaya, karena memang tidak ada standar nilai yang mengaturnya.
Disamping itu, oknum ‘politisi busuk’ ikut juga ‘mengaracau’ kesana kemari menciptakan ‘hoax’ baru, untuk mencari muka pada rakyat dan penguasa (kerena mesin politiknya ‘digenggam penguasa’). ‘Aroma busuk’ yang mereka keluarkan semakin menusuk hidung, dan ikut menambah frekuensi kegaduhan.
Pada kondisi ini, sangat diperlukan adanya keseimbangan antara potensi ‘zikir’ dan ‘fikir’ dalam diri seseorang, terlebih lagi pada yang ‘mamacik’ tampuk kekuasaan dalam semua starata di negeri ini. Keseimbangan antara keduanya akan membentuk keperibadian yang utuh, teguh memegang amanat, lurus dalam sikap dan tindakan, cerdas secara intelektual, spiritual dan emosional. Sikap ini jika dimiliki oleh para pengambil kebijakan, maka terciptalah kemajuan tanpa meninggalkan bekas ‘kekerasan’.
Harmonisasi dalam masyarakat bisa diraih, jika semua komponen di negeri ini saling menjaga keseimbangan dalam segala sisi. Tegaknya supremasi hukum yang berkeadilan, suasana yang damai, saling menghargai satu sama lain dalam perbedaan, terselenggaranya pemerintahan yang berpihak kepada kepentingan rakyat (tanpa mengkultuskan kelompok tertentu), terjaganya sumber daya alam dari ‘penjarahan bangsa asing’ dan lain-lainnya adalah harapan semua anak bangsa dinegeri ini.