Kaba DPRD Bukittinggi

JAM GADANG, DULU DAN KINI


Oleh : Muhammad Nur Idris

(Ketua Komisi I DPRD Kota Bukittinggi)

Tadi malam, Sabtu (16/02), kawasan pendestrian Jam Gadang yang direnovasi sejak Juni 2018 lalu, dibuka secara resmi oleh Pemerintah Kota Bukittinggi. Acara pembukaan yang diadakan pada malam hari itu lebih rame dipadati pengunjung, bahkan lebih rame lagi dibanding pengunjung tahun baru yang bisa datang ke Jam Gadang penggantian malam tahun baru. Model kawasan Jam Gadang hasil renovasi ini memang sudah viral di media massa sebelum diresmikan, sehingga membuat masyarakat penasaran sehingga menjadi daya tarik untuk ikut melihat. Konon kabarnya malam peresmian itu, yang datang tidak hanya pengunjung masyarakat Bukittinggi, bahkan pengunjung dari luar Bukitinggi banyak yang datang. Karena memang benar kata orang, tidak lengkap ke Kota Bukittinggi kalau tidak berphoto atau bershelfie di bawah Jam Gadang yang menjadi ikon Kota Bukittinggi. Dengan dibukannya kawasan Jam Gadang usai renovasi ini, akan membuat kawasan Jam Gadang akan membludak didatangi pengunjung. Namun yang tak kalah penting dari Jam Gadang adalah sejarah berdirinya serta cerita menarik dari Jam Gadang sejak dulu dan kini.

Bangunan Menara Jam Gadang yag berada di Bukittinggi, sama terkenalnya dengan Menara jam yang terkenal di London bernama Big Been yang berlokasi di Istana Westminster London Britania Raya Inggris. Bahkan mesin jam ini diyakini hanya dua didunia, Big Been di Inggris dan kembarannya Jam Gadang di Bukittinggi saat ini. Mesin Jam Gadang yang didatangkan langsung dari Rotterdam Belanda melalui Pelabuhan Teluk Bayur. Mesin yang bekerja secara manual tersebut oleh pembuatnya bernama Forman, seorang bangsawan terkenal diberi nama Brixlion. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann Recklinghausen. Dari berbagai sumber disebutkan Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.

Bangunan Menara Jam Gadang terletak di jantung Kota Bukittinggi memiliki ketinggian lebih kurang 26 meter dengan luas bagian tapak bawahnya lebih kurang 13×4 meter, dengan bulatan jam di keempat sisi bagian atasnya ini memiliki ukuran yang sama besar dengan diameter 80 centimeter. Bangunan Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda bernama Ratu Wilhelmina kepada controleur atau sekretaris daerah Fort De Kock nama Bukittinggi saat itu yang bernama Rook Maker. Yang menarik dalam Peletakan batu pertama Jam Gadang dilakukan oleh seorang anak yang masih berusia enam tahun, putra pertama Rook Maker yang menjabat sebagai Sekretaris Daerah atau contoleur Belanda di Bukittinggi ketika itu.

Pembangunan Jam Gadang pada era Hindia Belanda ketika itu menghabiskan biaya sampai 3.000 Gulden (jika 1 Gulden Rp 7.500 maka totalnya Rp 22.500.000) untuk saat ini atau merupakan biaya yang cukup fantastis untuk ukuran waktu itu. Bangunan Jam Gadang dirancang oleh seorang arsitektur asal Minangkabau bernama Yazid Abidin Rajo Mangkuto Sutan Gigi Ameh. Yang istimewa, bangunan ini dibangun tanpa menggunakan besi penyangga dan adukan semen. Dimana campurannya hanyalah kapur, putih telur dan pasir putih. Setidaknya ada 4 (empat) tingkatan lantai pada Jam gadang, lantai kesatu merupakan ruangan petugas Jam Gadang. Lantai kedua merupakan letak bandul pemberat Jam Gadang yang sangat penting, lantai ketiga letak mesin Jam Gadang dan keempat adalah letak lonceng dan atap Jam Gadang.

Mesin Jam Gadang memiliki keunikan, karena didalamnya terdapat sistem yang bekerja menggerakan jam secara mekanik dibantu dengan dua buah bantul besar yang saling menyeimbangkan. Sistem inilah yang membuat jam terus berfungsi setiap tahunnya tanpa bantua sumber energi apapun. Sejak didirikan, atap Jam Gadang telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan dari waktu ke waktu. Pada jaman Pemerintahan Belanda, atap Jam Gadang berbentuk kubah kerucut bersegi khas eropa yang diatasnya dihiasi ornamen ayam jantan yang menghadap ke timur. Pada jaman Pemerintahan Jepang, atap Jam Gadang dirubah dengan gaya arsitektur Jepang berbentuk Pagoda. Sementara pada masa kemerdekaan, atap Jam Gadang diubah menjadi bentuk Gonjong sebagai kekhasan Minangkabau. Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan Pemko Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta.

Cerita Menarik Tentang Jam Gadang

Sebagaimana disebutkan dalam tulisan diawal, bahwa selain mengenal sejarah berdirinya Jam Gadang ada juga cerita menarik tentang Jam Gadang yang tidak banyak diketahui oleh publik. Seperti yang dijelaskan diawal, bahwa selain sejarah berdirinya Jam Gadang ada lagi sisi-sisi cerita menarik yang belum banyak diketahui public yakni angka IV Romawi pada Jam Gadang. Sepintas ketika melihat Jam Gadang itu terlihat biasa-biasa saja. Tidak ada keanehan serta keunikan pada bangunan yang sudah berumur 93 tahun ini. Apalagi jika diperhatian bentuknya, karena Jam Gadang hanya berwujud bulat dengan diameter 80 centimeter, ditopang dengan basement dasar yang berukuran 13×14 meter, dan hanya terbuat dari pasir putih, putih telur dan kapur.
Namun coba perhatikan lebih teliti lagi, akan terlihat unik pada angka empat romawi pada Jam Gadang tersebut. Angka empat romawi yang biasa ditulis dengan sombol IV, dalam Jam Gadang tersebut ditulis IIII. Inilah salah satu cerita menarik yang belum banyak diketahui public, apa dan kenapa penulisan angka empat romawi tersebut lain dari yang biasa dikenal oleh orang banyak saat ini. Saya mencoba menyampaikan beberapa cerita dan alasan mengapa angka empat romawi pada Jam Gadang tersebut keluar dari aturan matematikan pada umumnya. Bahwa penulisan angka IIII tersebut berdasarkan kepada King Louis XIV. Dimana King Louis XIV adalah Raja Perancis dan Navarre yang dinobatkan pada 14 Mei 1643 dalam usia 5 tahun dan dijuluki sebagai Raja Matahari.

King Louis XIV meminta kepada seorang ahli jam untuk membuatkan sebuah jam baginya. Pembuat jam memberi nomor pada setiap jam sesuai dengan aturan angka romawi. Setelah melihat jam yang diberikan kepadanya, raja tidak setuju dengan penulisan angka IV sebagai angka empat dengan alasan ketidakseimbangan visual. Menurut raja, angka VIII yang ada diseberang angka IV. Jika ditulis IV maka ada ketidakseimbangan secara visual dengan angka VIII lebih berat. Oleh karena itu, King Louis XIV meminta agar mengubah angka IV menjadi IIII sehingga lebih seimbang dengan angka VIII yang ada diseberangnya. Selain itu, ada juga yang menyebutkan bahwa angka romawi IV merupakan singkatan dari Dewa Romawi, yaitu Jupiter yang ditulis dengan “IVPPITER”. Jadi jika angka IV diletakan dalam jam bangsa Romawi, maka jam itu akan bertuliskan 1, 2, 3, DEWA, 5 dan seterusnya. Jika dilihat dari kaca mata romawi, mungkin mereka tidak ingin nama tuhan mereka di taruh di jam seperti itu.

Ada juga penjelasan lain, bahwa penggunaan angka IIII bukan semata-mata alasan penggunaan IIII atau bukan IV semata-mata masalah teknis. Jika IV yang digunakan, maka pandai besi harus membuat huruf I sebanyak 17 batang, huruf V sebanyak 5 batang, dan huruf X sebanyak 4 batang. Masalahnya, pada masa itu, pandai besi hanya bisa ekonomis. Kalau membuat besi dalam kelipatan 4, jika ditulis IV untuk angka 4, maka ada satu batang huruf V yang terbuang. Sementara jika angka 4 ditulis dengan III, maka pandai besi hanya membutuhkan 20 huruf I, 4 buah huruf V dan 4 huruf X, sehingga pandai besi hanya cukup memuat pala cetakan anga yakni VIIIIX karena lebih ekonomis.

Selain itu, penggunaan numerasi romawi standar IV sebagai angka 4 berpotensi membingunkan bagi anak-anak dan orang yang tidak terbiasa melihat jam, apalagi dalam posisi terbalik angka IV nyaris serupa dengan angka VI. Itulah mengapa digunakan angka IIII karena tidak mirip dengan angka VI. Alasan lain, menyebutkan bahwa penggunaan IIII akan menciptakan simetris radial pada jam, sehingga simbol I hanya dijumpai pada pertiga awal (I, II, III, dan IIII). Sementara simbol V akan dijumpai pada petiga tengah (V, VI, VII dan VIII) dan simbol X akan dijumpai pada petiga akhir (IX, X, XI dan XII). Bahwa dari beberapa alasan itu, penulis menyimpulkan bahwa terdapat banyak sekali alasan mengenai hal penggunaan angka IIII pada Jam Gadang. Tapi yang perlu diketahui yaitu bahwa simbol IIII sudah ada sejak dahulu dalam sejarah jam masa dulu atau sebelum abad ke-19. Justru para ahli jam heran dengan adanya symbol IV yang tertera pada jam. Memang secara matematika simbol IIII ini keliru, tapi secara budaya hal ini tidak jadi masalah dengan alasan berbagai hal. Artinya matematika tidak mengikat dan ada yang lebih berperan dalam kehidupan masyarakat yaitu culture.

To Top