Oleh; Rahman Buya
Cara berfikir seseorang banyak dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang direkam dalam sistem syaraf otaknya, dan nilai-nilai spiritual yang dimilikinya. Hal ini sangat menentukan bagaimana seseorang bisa menafsirkan keadaan yang terjadi disekitarnya.
Begitu dahsyatnya Allah ciptakan manusia, dengan komposisi intelektualitas yang luar biasa. Otak sebagai salah satu organ penting, yang mampu menyimpan miliaran informasi, merangkainya dan melahirkan gagasan-gagasan cemerlang, yang bermanfaat tidak saja bagi dirinya, tetapi juga dapat menciptakan suasana kehidupan yang tertata baik, indah dan menjadi referensi orang-orang yang berada disekitarnya.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah senang jika salah seorang di antara kamu mengerjakan suatu pekerjaan yang dilakukan secara terkun dan sungguh-sungguh.“ [HR. Muslim].
Untuk itulah nilai spiritual, kecerdasan dan intelektualitas seorang yang diberi beban berpikir sangat dibutuhkan untuk membawa perubahan yang lebih baik. Tidak ada keberhasilan tanpa melahirkan perubahan yang dapat dirasakan oleh semua orang yang menjadi tanggungjawabnya.
Hari ini betapa banyak orang-orang yang diberi ‘beban berfikir’ dengan tingkat tanggung jawab yang besar, kesulitan memanfaatkan potensi kecerdasannya, karena tingginya ‘resistensi’ disekitarnya. Menciptakan berbagai terobosan dalam rangkaian kerja tim yang kompleks, apalagi dalam ranah publik yang terbuka saat ini, akan menguras energi dan emosi. Pengalaman dan pola pikir yang cekatan, menjadi tidak cukup, jika komponen disekitarnya tidak mampu melakukan hal yang sama.
Sangat banyak orang-orang cerdas seperti ‘kehilangan akal’ menghadapi tembok ‘resitensi’ yang tebal dan dimiliki rekan kerjanya. Alih-alih mewujudkan kemajuan, justru dia yang ‘mati langkah’. Seseorang yang tidak memiliki motivasi dan kompetensi, jika menjadi bagian dari struktur kerja suatu tim, akan menjadi ‘ganjalan’ penghambat bagi terwujudnya cita-cita organisasi.
Islam sudah memberikan rambu-rambu, bagaimana memanfaatkan potensi sumber daya yang dimililki sesorang dengan suatu prinsip, bahwa “jangan serahkan pekerjaan pada yang bukan ahlinya, pasti akan menuai kegagalan.”
Mari kita renungi Firman Allah SWT, “Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan (nya) dengan baik.” [QS. Al-Kahfi:30].
Catatan sederhana yang perlu kita simak, bahwa Islam melarang seseorang (pemimpin) menempatkan orang lain dalam suatu pekerjaan pada posisi yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kompetensinya, ini dipandang sebagai bentuk pengingkaran terhadap tanggung jawab.
Untuk itu, seorang pengemban amanah dengan ‘beban pikiran yang berat’ akan mampu menghasilkan perubahan pada lingkungan disekitarnya, apabila ditopang oleh komponen sumberdaya yang memiliki intelektualitas dan nilai-nilai spiritual yang baik, mereka sadar akan penggunaan potensi akal pikiran yang Allah Ta’ala anugerahkan kepadanya.