Oleh : Rahman Buya
Orang cenderung menggeser tapal batas moral kearah yang dianggap sesuai dengan keinginan atau kepuasan diri. Sehingga moralitas semakin bergeser pada hasil penilaian diri sendiri. Akibatnya orang menggandrungi hidup serba individualistis. Dan moralitas hidup diukur menurut apa yang dirasakan sesuai dengan tolok ukur kehidupan individualistis ini.
Pada sisi lain kita juga melihat isyarat yang ‘kasat mata’ akibat lemahnya kendali akhlak didalam diri seseorang, memunculkan gaya hidup yang bersifat konsumtif, berperilaku hidup mewah, mudah tergoda berbuat yang tidak baik, sehingga ketika individu itu berkesempatan memegang ‘tampuk kekuasaan’ mereka sangat fasih merenda dirinya dalam perilaku Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan itu terjadi hampir merata disemua sektor kemasyarakatan.
Jargon ‘revolusi mental’ yang didengung-dengungkan beberapa pihak, tidak akan memberi efek yang berarti dalam perilaku keseharian ‘para penyelenggara negara’, karena aspek moralitas dan akhlaknya sudah bermasalah semenjak awal ‘mendapatkan jabatan’. Sehingga jangan heran, jika hal ini turut memperburuk kondisi sosial masyarakat yang ada saat ini. Bak benang kusut, entah dari mana kita mulai memperbaikinya.
Nah, dari ‘selayang pandang’ pengungkapan kondisi kekinian diatas, muncul beragam gagasan dan solusi, bagaimana pentingnya pembinaan moral dan akhlak secara dini dalam kehidupan bermasyarakat. Ibarat sebuah bangunan, sangat mustahil kita mendapatkan hasil yang baik, jika ‘program renovasi’ hanya dititik beratkan saat pekerjaan akhir (finishing), sementara pondasi awal pada ‘peletakkan batu pertama’ sudah bermasalah, baik dari segi rancang konstruksi maupun kualitas adukan material pendukungnya.
Dalam arti yang luas, perbaikan tak mungkin berhasil jika hanya dilakukan diakhir pekerjaan, sementara dari hulunya ‘keruh dan berlumpur’. Percikan api konflik yang mudah membesar, gesekan kecil yang bermuara pada ‘huru hara’, budaya konsumtif, perilaku KKN, manipulasi, pungli, kerusakan akhlak hampir melanda pada semua tingkat usia (tidak hanya didominasi kaum muda), kehidupan sosial dan keagamaan yang memperihatinkan, dan hal-hal lainnya adalah muara dan cerminan dari buruknya akhlak atau budi pekerti.
Kita semua mungkin sepakat, bahwa salah satu solusi utama yang diharapkan menjadi ‘agen perbaikan dan penanamam akhlak dan nilai-nilai moralitas’ bagi perbaikan perilaku sumber daya manusia untuk masa depan adalah lembaga pendidikan, mulai dari tingkat usia dini hingga seterusnya, baik formal maupun non formal.
Dan Akhlak serta budi pekerti yang luhur harus menjadi cerminan keseharian dalam penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Artinya semua yang terkait dengannya, harus mampu mewujudkan itu dalam ‘dunia nyata’, yang tercermin dalam ucapan, sikap dan perbuatan. Sebagaimana dikatakan, bahwa akhlak dan budi pekerti luhur merupakan buah dari keimanan dan baiknya kualitas ibadah seseorang. Dia adalah fungsionalisasi agama, dalam artian kualitas keagamaan seseorang menjadi ‘tidak berarti’ bila akhlaknya buruk.
Bisa saja orangnya memiliki gelar akademik yang tinggi, cerdas secara kognitif, rajin sholat, zakat, puasa, naik haji berulang kali, sangat pandai membaca Al-Qur’an, tetapi jika perilaku kesehariannya tidak berakhlak, seperti merugikan orang lain, tidak jujur, mahir berbuat yang tercela, maka status keagamaannya menjadi tidak benar dan sia-sia.
Rasulullah SAW pernah ditanya, manakah diantara kaum mukminin yang terbaik keimanannya, maka beliau menjawab, “Ialah yang terbaik budi pekertinya diantara mereka itu.” (HR. Abu Daud, Tirmdzi dan lain-lain).
Kalau iman itu dikatakan sebagai pondasi, kemudian Islam sebagai tiang agama, maka akhlak itu adalah bangunan dari agama itu sendiri. Seseorang yang tidak menghiasi dirinya dengan akhlak yang terpuji, ibarat bangunan hanya tonggak-tonggak tiang belaka. Sauki Almanfaludi mengatakan yang artinya, “Bahwa satu bangsa akan tegak manakala akhlaknya mulia dan satu bangsa akan hancur manakala akhlaknya tiada”.
Suatu ketika Rasulullah SAW ditanya, “apakah yang dianggap sebagai kecelakaan itu? Beliau rasulullah SAW menjawab, “yaitu buruknya budi pekerti” [HR. Ahmad dan Abu Daud].
Kualitas akhlak seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi dalam keluarga, kondisi tempat dia menimpa pendidikan (secara formal atau non formal), dan kondisi dalam kehidupan masyarakat sekitarnya. Ketiga aspek itu memegang peranan yang sangat penting.
Akhlak tidak akan tumbuh tanpa diajarkan dan dibiasakan, serta dimulai dari hal-hal yang kecil dalam keseharian. Rasulullah SAW telah memberikan teladan bagi umat manusia, bagaimana beliau mengembangkan dan mengajarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, dengan cerminan akhlak atau budi pekerti yang paripurna. Jika kita cermati, apapun perintah Allah SWT dalam bentuk ibadah dan ta’at kepada-Nya hampir muaranya kepada akhlak itu sendiri. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sesempurna-sempurna orang-orang mukmin perihal keimanannya ialah yang terbagus akhlaknya diantara mereka itu.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan lain-lain).
[disarikan dari berbagai sumber].