Jakarta, kaba12.com — PT PLN (Persero) berencana mencari pinjaman atau utang sekitar Rp60 triliun pada 2018 atau meningkat dari tahun lalu Rp42,5 triliun. Pinjaman itu akan digunakan untuk membiayai investasi perseroan yang tahun ini ditargetkan berkisar Rp80 triliun hingga Rp90 triliun.
“Dari pinjaman tersebut, pinjaman dalam bentuk valuta asing kami jaga berkisar 50 sampai 60 persen,” ujar Direktur Keuangan PLN Sarwono Sudarto usai paparan Laporan Keuangan PLN 2017 di kantor pusat PLN, Rabu (27/3).
Pinjaman dalam bentuk valas diperlukan perseroan, mengingat beberapa komponen pembangkit masih perlu diimpor dan dibayar dengan valas. Namun, Sarwono meyakinkan bahwa perseroan selalu melakukan lindung nilai atau pinjaman dalam bentuk valas.
Sarwono mengungkapkan bahwa kemampuan perseroan untuk memperoleh pendanaan eksternal masih sangat baik. Rasio solvabilitas yang tercermin dari perbandingan utang terhadap modal perseroan (Debt to Equity Ratio) masih di bawah 60 persen.
“DER kan maksimal 300 persen. Jadi, ruangnya masih banyak sekali,” ujarnya.
Selain melalui pinjaman perbankan, perseroan juga akan memenuhi kebutuhan pendanaan dengan penerbitan obligasi. Pada Februari 2018 lalu, perseroan menerbitkan obligasi dan sukuk ijarah berkelanjutan II PLN tahap III 2018 dengan total Rp3,23 triliun.
Penerbitan emisi ini merupakan penawaran umum berkelanjutan dari obligasi berkelanjutan II PLN dengan target dana yang dihimpun senilai Rp8 triliun dan sukuk ijarah berkelanjutan II dengan sisa imbalan ijarah yang dihimpun senilai Rp2 triliun.
Sarwono merinci separuh dari penggunaan pinjaman adalah untuk membiayai investasi pembangkit listrik sedangkan sisanya untuk investasi pembangunan transmisi, gardu, dan kelengkapan infrastruktur lain. Pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan tersebut merupakan bagian dari proyek pembangunan pembangkit 35 ribu MegaWatt (MW) dan upaya perseroan meningkatkan akses tenaga listrik hingga ke wilayah tertinggal di seluruh pelosok Indonesia.
Sarwono mengungkapkan perseroan terus berupaya untuk melakukan efisiensi operasional sehingga bisa menjaga kesehatan kondisi keuangan. Hal itu salah satunya tercermin dari perbandingan penambahan investasi dengan utang perseroan.
Selama periode 2015-2017, penambahan pinjaman perseroan melonjak Rp83,6 triliun atau jauh lebih rendah dari total investasi yang dilakukan perseroan selama periode yang sama, Rp190,7 triliun.
Sumber : CNN Indonesia
(Dany)