Jakarta, KABA12.com — Tahun 2018 dianggap sebagai waktu yang tepat untuk memulihkan citra DPR yang kadung buruk di mata publik. Bentuknya, penyelesaian perundangan yang berpihak pada masyarakat dengan proses yang transparan. Ini tak lepas dari arus baru pemerintahan yang mengakomodasi publik.
“Berikan akses seluas-luasnya bagi publik untuk mengetahui proses pembahasan pasal demi pasal. Jangan lagi pembahasan RUU dilakukan secara tertutup karena muatan RUU selalu bersinggungan dengan hak dan kewajiban semua individu, tanpa terkecuali,” kata Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo, melalui keterangan tertulisnya seperti dikutip CNN Indonesia, Senin (1/1).
DPR dan Pemerintah pada November 2017 sepakat memasukkan 50 Rancangan Undang-Undang (RUU) ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018 Prioritas. Rinciannya, DPR mengajukan 31 RUU, pemerintah mengajukan 16 RUU, dan DPD mengusulkan tiga RUU.
Menurut Bambang, Prolegnas 2018 ini akan menyita banyak perhatian masyarakat. Sebab, banyak perundangan yang bersinggungan dengan kepentingan publik dan menyangkut bidang yang sensitif. Di antaranya, RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), yang menyangkut rencana Pemerintah untuk memungut pajak bagi pelaku bisnis daring dari dalam maupun luar negeri.
Selain itu, ada revisi delapan perundangan yang terkait bidang pidana dan HAM. Yakni, RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, RUU tentang Penyadapan, RUU tentang Narkotika dan Psikotropika, dan RUU tentang Pemasyarakatan.
Bambang memperkirakan, pembahasan delapan RUU itu akan menghadirkan banyak perdebatan. Semua elemen masyarakat berkepentingan dengan regulasi itu.
“Agar semua pihak boleh merasa diperlakukan dengan adil, DPR perlu mengundang dan mendengarkan pendapat dan masukan dari berbagai kalangan terhadap RUU yang sedang dibahas,” ujarnya.
Keterbukaan itu, lanjutnya, diperlukan untuk memeperbaiki citra DPR yang kadung minus di mata publik. Termasuk, dalam hal kinerja penyelesaian perundangan. Di mata publik, kata Bambang, penyebab kontribusi rendah DPR adalah kesibukan anggota dewan dalam berpolitik praktis lebih dominan ketimbang kerja sebagai wakil rakyat.
“Dari kecenderungan itulah lahir persepsi negatif terhadap DPR,” ucapnya.
Sementara, ada arus baru dalam politik dan pemerintahan saat ini lewat munculnya pemimpin-pemimpin, pusat maupun daerah, yang mengedepankan pelayanan pada publik dan merespon kritik. Contohnya, Presiden Jokowi dengan kebijakan Indoensia Sentris-nya, serta pemimpin daerah seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Tingkat kepuasan publik pun nyata. Hal ini bisa dilihat dari berbagai survei nasional yang mengungkapkan angka kepuasan yang tinggi.
“Sekarang adalah momentumnya bagi DPR untuk masuk dan ikut dalam arus perubahan dan pembaruan itu. Harus tumbuh semangat meningkatkan kinerja untuk kerja legislasi,” tutup Bambang, yang juga menjabat sebagai Ketua DPP Partai Golkar.
Sebelumnya, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai, tahun 2017 merupakan tahun ‘gelap’ bagi kinerja DPR.
Salah satu indikatornya, penyelesaian UU yang minimalis. Pada 2017, DPR hanya mampu mengesahkan enam UU dari 52 RUU Prolegnas Prioritas. Bahkan, sebanyak 17 RUU di antaranya masih dalam tahap penyusunan draf, dan sisanya dalam tahap pembahasan di tingkat I serta harmonisasi.
“Paradigma DPR dalam legislasi selalu mengedepankan jumlah yang bombastis. Tetapi pada prosesnya DPR terseok-seok untuk menyelesaikan,” ujar peneliti Formappi Bidang Legislasi Lucius Karus, belum lama ini.
(dany)